sumber mbah google |
Berbicara tentang
kepemimpinan maka banyak orang akan memberikan defenisnya tentang hal tersebut.
Meminjam istilah dalam bahasa jawa ada tiga pemahaman yang lumrah dianggap
sebagai orang sebagai defenisi dari kepemimpinan, yakni “ing ngarso sung
tulodo, ing madyo mbangun karso, tut wuri handayani” (“di depan menjadi
teladan, di tengah membangkitkan semangat, dari belakang mendukung”). Dari
ketiga istilah di atas, kita dapat melihat bahwa begitu kompleksnya peran
seorang pemimpin. Ada orang yang mengatakan bahwa pemimpin itu dilahirkan ada
juga yang mengatakan bahwa pemimpin itu hasil dari pembentukan/proses. Saya
melihat bahwa kedua hal ini benar, karena kalau pemimpin itu tidak dilahirkan
bagaimana mungkin ia bisa hadir didunia ini J dan kemudian proseslah yang membawa orang
tersebut menjadi seorang pemimpin.
Begitu banyak tokoh
kepemimpinan yang kita kenal atau bahkan kita kagumi seperti para pemimpin
dunia Obama, Soekarano, dll. Namun pertanyaannya adalah apakah mereka itu
otomatis menjadi seorang pemimpin yang seperti kita kenal selama ini? Ternyata
banyak hal yang mempengaruhi mereka sehingga mereka bisa seperti itu bukan.
Orang tua, keluarga, teman, sahabat, sekolah, lingkungan, dan masih banyak hal
lain yang menjadi pendukung mereka untuk bisa menjadi seperti pemimpin yang
kita kenal.
Yuk, belajar dari
salah satu tokoh Alkitab yaitu Musa. Keluaran 2:1-10 (perhatikan kata kerja
yang digaris bawahi)
Seorang laki-laki dari keluarga Lewi kawin
dengan seorang perempuan Lewi, lalu mengandunglah ia dan melahirkan seorang
anak laki-laki. Ketika dilihatnya, bahwa anak itu cantik, disembunyikannya
tiga bulan lamanya. Tetapi ia tidak dapat menyembunyikannya lebih lama
lagi, sebab itu diambilnya sebuah peti pandan, dipakalnya dengan
gala-gala dan ter, diletakkannya bayi itu di dalamnya dan ditaruhnya
peti itu di tengah-tengah teberau di tepi sungai Nil. Kakaknya perempuan
berdiri di tempat yang agak jauh untuk melihat, apakah yang akan terjadi
dengan dia. Maka datanglah puteri Firaun untuk mandi di sungai Nil, sedang
dayang-dayangnya berjalan-jalan di tepi sungai Nil, lalu terlihatlah olehnya
peti yang di tengah-tengah teberau itu, maka disuruhnya hambanya
perempuan untuk mengambilnya. Ketika dibukanya, dilihatnya bayi itu, dan
tampaklah anak itu menangis, sehingga belas kasihanlah ia kepadanya dan
berkata: "Tentulah ini bayi orang Ibrani." Lalu bertanyalah kakak anak
itu kepada puteri Firaun: "Akan kupanggilkah bagi tuan puteri seorang
inang penyusu dari perempuan Ibrani untuk menyusukan bayi itu bagi tuan
puteri?" Sahut puteri Firaun kepadanya: "Baiklah." Lalu pergilah
gadis itu memanggil ibu bayi itu. Maka berkatalah puteri Firaun kepada ibu
itu: "Bawalah bayi ini dan susukanlah dia bagiku, maka aku akan memberi
upah kepadamu." Kemudian perempuan itu mengambil bayi itu dan menyusuinya.
Ketika anak itu telah besar, dibawanyalah kepada puteri Firaun, yang
mengangkatnya menjadi anaknya, dan menamainya Musa, sebab katanya: "Karena
aku telah menariknya dari air."
Dari alur
cerita di atas semua kata kerja (yang digaris bawahi), semua subjek kata
kerjanya adalah feminine (perempuan/she). Dan objeknya hampir semuanya
mengarah kepada bayi yang baru lahir yaitu Musa. Hal ini menunjukkan bahwa pada
awal permulaan hidup Musa, yang sangat berperan penting adalah wanita-wanita.
Mulai dari ibunya, kakaknya, lalu putri Firaun (semua terlihat dari kata kerja feminine-nya. Wanita-wanita inilah yang
boleh Tuhan pakai untuk menyelamatkan Musa hingga pada akhirnya ia bisa menjadi
pemimpin besar bangsa Israel. Tanpa ‘kecerdikan’ dari ibunya, mungkin Musa
sudah dibantai oleh prajurit Firaun. Tanpa keberanian dari kakanya (Miryam),
tidak akan ada orang yang bisa mendidik
Musa dengan nilai-nilai yang takut akan Tuhan, dan tentunya tanpa putri Firaun,
yang kekuasaan dan perannya dipakai oleh Tuhan, mungkin Musa tidak akan
terselamatkan. Hal yang menarik adalah bagaimana Tuhan memakai para
wanita-wanita ini untuk menyelamatkan Musa dan akhirnya bisa menjadi pemimpin
besar. Tokoh yang lainnya adalah Hana ibu Samuel. Hana yang selalu setia berdoa
di Bait Allah untuk memperoleh anak, meskipun ia sering disindir, tapi ia tetap
kekeh berdoa kepada Tuhan. Dan akhirnya ia melahirkan Samuel yang cukup
memiliki peran besar dalam sejarah bangsa Israel.
Dalam
konteks orang Yahudi, seorang perempuan memiliki posisi yang kesekian alias
tidak terlalu dianggap. Dalam konteks era saat ini pun posisi seorang wanita
masih tidak begitu dianggap bukan. Dan mungkin juga ada wanita-wanita
(khususnya dalam hal ini adalah ibu/istri) yang merasa bahwa tidak bisa berbuat
apa-apa. Dan mungkin sebagian pria juga mengabaikan hal ini bahwa wanita
memiliki peran yang sangat penting dalam lahirnya seorang pemimpin.
Dalam
kehidupan keseharian anak, sebagian besar membuktikan bahwa anak itu lebih
memiliki banyak waktu bersama ibunya daripada dengan sang ayah. Sehingga yang
memiliki peran yang paling banyak terhadap kehidupan si anak adalah ibu
(walaupun sebenarnya dalam mendidik anak adalah tugas kedua orang tua, tapi
realita membuktikan bahwa waktu sang ibu lebih banyak dibandingkan dengan si
ayah).
Oleh sebab
itu wanita harus benar-benar memanfaat kan hal ini untuk menolong kehidupan
sang anak untuk menjadi seorang pemimpin yang memberkati banyak orang. Tradisi
boleh melihat wanita dinomor urutan kesekian, tapi Tuhan tidak melihat sama
seperti bagaimana manusia melihatnya.
:)