sumber mbah google |
Belakangan ini saya cukup dibuat gelisah oleh pemberitaan
dari media sosial tentang keadaan yang dialami oleh tanah kelahiran saya, yaitu
Pulau Nias. Sumber berita yang saya maksud tersebut adalah berbagai group atau
FP di Facebook yang memberitakan atau melapaorkan keadaan Nias saat ini, sebut
saja misalnya Liputan Nias, Lead Center Nias, Forum Masyarakat Kepulauan Nias Indonesia, dll. Hampir semua memberitakan tentang keadaan Nias, yang mulai terpuruk
dengan keadaan yang ada, baik itu masalah, sosial, ekonomi, maupun moral.
Memang ada juga hal-hal baik yang diberitakan, tapi kapasitasnya minim. Saya
mengikut perkembangan Nias melalui saluran-saluran berita di media social
tersebut.
Sudah lebih 7 tahun saya meninggalkan Nias (Nias yang selalu
saya rindukan). Dari media social tersebut saya membaca bahwa keadaan social
ekonomi masyarakat semakin melemah, yang kaya semakin kaya, yang miskin semakin
miskin, harga sembako naik, harga karet menurun, secara moral juga mulai
bermasalah, pemimpin yang terkait korupsi, masalah ketidak adilan, masalah
CPNS, jumlah pengangguran, SDM yang bekerja tidak sesuai dengan keahliannya
(misalnya lulusan akper jadi pegawai BANK, lulusan S.Pdk jadi camat, dll.).
Saya merasa bahwa masalah di atas bukanlah masalah yang baru
terjadi, tapi ini adalah masalah yang sudah terjadi dimasa lalu, berpuluh tahun
yang lalu sudah terjadi. Dari lahir sampai usia 18 tahun saya tinggal di Nias,
dan masalah itu sudah ada, dan saya melihat, mendengar, dan merasakannya.
Ketika ada masalah seperti ini, siapa yang menjadi sasaran
amarah kita? Siapa yang menjadi sasaran kritikan? That’s right!!! Ya benar,
pemerintah menjadi sasaran amarah kita, kita mengkritik habis-habisan, kita
hujat, kita maki sepuas kita, kita kutuk sepuas kita. Kenapa? Karena kita
merasa merekalah yang bertanggung jawab terhadap jalannya kehidupan di Nias. Inilah
yang kita lakukan, baik dulu, berpuluh-puluh tahun yang lalu, maupun saat ini.
Apa hasilnya? Jawab sendiri.
Namun satu hal yang ingin saya pertanyakan seperti judul
tulisan ini adalah WAHAI ROHANIWAN DIMANAKAH SUARAMU? Ini adalah hal yang
belakangan ini saya pertanyakan. Adakah juga peran para pemimpin agama di Nias,
terhadap kondisi keadaan di Nias? Sebagian besar Nias adalah daerah yang
memiliki keyakinan kepada Tuhan Yang Maha Esa, dengan berbagai agama, sebut
saja Kristen Protestan, Islam, Katolik, (ini adalah agama yang mendominasi
daerah Nias). Tentu saja dengan kapasitas keyakinan yang seperti ini,
seharusnya keadaan Nias lebih baik. Namun sudah kapasitas keyakinan yang
relatif besar tersebut, memberikan pengaruh kepada masyarakat Nias? Sudahkah
juga para pemimpin umat ini menyuarakan suara Tuhan kepada masyarakat dan
kepada pemerintah? Sudahkah juga para pemimpin umat ini menyuarakan suara
masyarakat kepada pemerintah? Jawab sendiri.
Selama 18 tahun saya tinggal di Nias, saya tidak pernah
melihat bahwa agama memberikan dampak yang signifikan terhadap kemajuan
masyarakat disegala sektor, seolah-olah menutup mata. Saya tidak pernah melihat
dan mendengar bahwa kaum rohaniawan berdiskusi dengan pemerintah untuk
mengatasi masalah Nias (jika pernah, salah sendiri, kenapa tidak dipublish kepada masyarakat).
Sudah saatnya kita mulai menyoroti peran kaum rohaniawan di
Nias. Sudah bosan dengan cacian, kritikan, hujatan kepada pemerintah. Mari
sama-sama bertanya WAHAI KAUM ROHANIWAN/PEMIMPIN UMAT DIMANAKAH SUARAMU?
Saya teringat berbagai peristiwa yang pernah terjadi di
Nias, ketika saya masih tinggal di Nias maupun sampai saat ini. Misalnya ketika
terjadi masalah di satu desa, sebut saja perkelahian, keributan dalam rumah
tangga, pencurian, perzinahan, pembunuhan, dll. Biasanya masalah ini
diselesaikan di kantor desa atau juga di rumah kepada desa. Yang
menyelesaikannya adalah kepala desa, kepala dusun, dan aparat desa. Dimana
pemimpin umat? Dimana kaum rohaniwan? Kalau bukan duduk dibelakang maka duduk
di rumah. Contoh yang lain, ketika masa-masa pemilihan, baik pemilihan kepada
desa, kepada daerah, maupun pemilihan presiden, apakah umat pernah diberikan
juga pemahaman, baik itu di gereja, mesjid, wihara, untuk memilih pemimpin yang
baik, benar, adil, jujur? Selama sepengetahuan saya tidak pernah. Suatu hal
yang ironis sebenarnya, jika kita semua tutup mata dengan hal-hal tersebut. Saya
tidak pernah melihat pemimpin umat/kaum rohaniwan berbicara atau diskusi dengan
kepada desa, camat, bupati, walikota untuk membicarakan tentang kemajuan
masyarakat Nias. Saya tidak pernah melihat pemimpin umat menegur pemerintah
ketika melakukan kesalahan. Bukankan agama tidak boleh masuk dalam
pemerintahan? Siapa bilang, justru agama dan pemerintah melakukan satu
kerjasama yang baik demi kemajuan masyarakat.
Yang saya takutkan dan yang saya duga, pemimpin umat/kaum rohaniawan takut menyuarakan hal-hal seperti ini. Apakah takut posisinya terancam, takut dicap penjilat, atau lain sebagainya. Kecuali jika kedua hal ini dibedakan dan berdiri sendiri. Pemerintah sendiri, agama sendiri (itu beda cerita lagi). Atau jangan-jangan agama (apapun itu agamanya), mengambil keuntungan dengan situasi yang seperti ini? Jawab sendiri.
Benar kata orang diam adalah emas, tapi kita juga harus tahu
bahwa bicara itu adalah permata, berlian, yang nilainya lebih tinggi dari emas.
Mungkin kita berkata dengan diam, bisa menyelesaikan masalah, tapi itu
sebenarnya salah. Saya mempertanyakan diamnya kaum rohaniwan.
WAHAU KAUM ROHANIWAN/PEMIMPIN UMAT DIMANAKAH SUARAMU? Jawab
sendiri.
(Tulisan ini adalah curah hati putra Nias di tanah rantau,
yang merindukan daerahnya menjadi lebih baik)