Masih hangat dimemoriku kejadian malam itu. Ya malam yang
seharusnya menjadi waktu untuk beristirahat supaya bisa bersekolah esok
harinya, menjadi malam yang begitu mencekam. Kira-kira jam 11 malam, 28 Maret
2005 gempa bumi melanda Nias, dan saya masih kelas 3 SMP. Saya yang sudah
tertidur dengan pulas tidak bisa merasakan getaran gempa yang pertama,
untunglah saya dibangunkan oleh kakak perempuan saya. Kemudian kita semua lari
keluar rumah dan kemudian jongkok dibawah tanaman bunga milik tetangga sambil
pegangan. Saat itu juga tanah tempat kami berlindung mulai bergetar. Ya tanah
itu bergoncang dengan dahsyatnya, pohon-pohon tinggi yang ada dipinggir jalan
ada sebagian yang tumbang.
Takut, ngeri, bingung, tidak tau harus berbuat apa,
itulah yang saya dan saudara-saudara saya rasakan, dan mungkin dirasakan oleh semua masyarakat
Nias saat itu. Ketakutan begitu menguasai kami saat itu. Tidak pernah
terbayangkan akan mengalami hal yang seperti ini. Setelah gempa tersebut
berlalu, ada kabar yang mengatakan bahwa akan ada tsunami dan masyarakat
dihimbau untuk mencari dataran tinggi atau gunung. Malam itu, tengah malam,
hanya diterangi oleh cahaya bulan, kami berjalan menuju sebuah tempat yang
agak tinggi.
Tidak terhitung berapa kali nama Tuhan diteriakan, tangisan
air mata para ibu dan juga anak kecil mewarnai malam itu, ditambah lagi dengan
beberapa orang yang mengalami luka akibat runtuhan rumahnya terpaksa berjalan
untuk menyelamatkan diri. Tidak pernah terbayangkan dalam pikiran kami kejadian
ini menimpa kami.
Saya juga masih ingat bagaimana malam itu kami berjuang
menyelamatkan seorang ibu yang baru melahirkan bersama dengan bayinya. Ya...dia
adalah tetanggaku. Sang ibu baru melahirkan sore hari sebelum gempa tersebut.
Si ibu yang masih lemas, terpaksa kami bersama suaminya menggotongnya dari kamar dan
dengan inisiatif sendiri dari teman yang lain langsung menggendong bayi yang baru
lahir tersebut. Keluar dari kamar bukanlah hal yang mudah karena rumah mereka
sudah retak akibat gempa beberapa menit sebelumnya, satu persatu tiang, bata,
kayu-kayu mulai berjatuhan. Dan kami menggotang sang ibu di tengah puing-puing rumah yang mulai berjatuhan.
Dan anak gadis yang baru lahir tersebut sampai sekarang kami
memanggilnya Gempa. Dia adalah anak yang akan selalu mengingatkan kami tentang
gempa bumi yang pernah melanda Nias.
Kami berhasil mencapai dataran tinggi dan puji Tuhan tidak
ada tsunami. Esok harinya kita sebagian ‘turun gunung’ dan pemandangan
mencengangkan ada di depan mata. Sebagian rumah milik warga ada yang ambruk, jalanan retak,
bahkan ada yang terbelah. Dan yang lebih tragis lagi adalah kamar saya. Dinding
kamar ambruk dan menimpa ranjang tempat dimana saya tidur. Kaget dan sekaligus
juga bersyukur. Tidak terbayangkan apa yang akan terjadi denganku jika malam
itu saya tidak dibangunkan oleh kakak saya. Melihat kondisi rumah kami, dari
depan sampai belakang semuanya rusak. Rumah yang sudah ada sejak saya kecil
dibangun dari hasil keringat orang tua, kini hancur, sebagian ambruk bagian
belakangnya, dan bagian yang lainnya mengalami keretakan. Kemudian barulah saya dan
saudara-saudara saya saat itu menangis dan bertanya “Tuhan mengapa?”.
“Tuhan mengapa?” adalah pertanyaan yang terbesit dipikiran
saya di usia anak kls 3 SMP. “Tuhan bukan ini yang aku inginkan”. Mungkin bukan
hanya saya yang mempertanyakannya tapi juga mungkin hampir semua masyarakat
saat itu. Aku tidak tau apa yang terbesit dipikiran anak-anak seusia saya saat
itu. Yang jelas kami bingung.
Kini sudah 11 tahun kejadian itu telah berlalu. Nias sedang
dalam proses pembenahan khususnya dalam bidang pembangunan yang meskipun di
dalam diwarnai dengan ‘KKN’.
Yang jelas kejadian malam itu tidak akan pernah terlupakan
karena banyak meninggalkan kisah dan bekas luka yang mendalam. Di antaranya adalah
rasa trauma terhadap suatu getaran, rasa trauma terhadap suatu bunyi. Setelah
kejadian itu, gempa susulan masih terus ada. Setiap kami belajar di kelas dan
gempa tersebut ada maka kami semua berhamburan keluar ruangan. Terkadang karena
bunyi sesuatu yang keras kami juga bisa berlari keluar ruangan, karena kami
berpikir itu adalah gempa. Tidur di dalam tenda dalam jangka waktu yang cukup
lama juga menimbulkan kesedihan yang mendalam. Mengikuti UN di bawah sebuah
tenda milik tentara juga adalah pengalaman yang menyedihkan. Banyak kisah
menyedihkan yang masih membekas dalam hidup saya, namun satu hal yang saya
sadari bahwa “MESKIPUN INI TERJADI, TAPI SEPERTINYA TUHAN TIDAK PERNAH
MENINGGALKAN UMATNYA”. Hidup dan mati, keberhasilan dan kegegalan, bukanlah
standar penentu bahwa Tuhan menyertai umatNya atau Tuhan meninggalkan umatNya.
Karena dalam keadaan apapun itu, Ia selalu hadir karena Ia adalah Tuhan yang
Maha hadir.
Berdoa untuk Nias yang semakin lebih baik.
Inilah kisah pengalamnku, mencoba untuk menuliskannya supaya
menjadi abadi. Tulisan dengan segala kekurangannya mohon dimaafkan.
bisa juga di baca di http://www.kompasiana.com/harefayayo/11-tahun-gempa-bumi-di-nias-28-maret-2005-2016_56f8af64f07a614a05ff8118