Total Tayangan Halaman

Senin, 03 Agustus 2015

Communication In Marriage (Komunikasi di dalam Pernikahan)


            Di dalam kehidupan sehari-hari setiap manusia saling berkomunikasi satu dengan yang lain dengan menggunakan bahasa yang dapat dimengerti oleh setiap pihak. Di dalam pernikahan komunikasi juga merupakan hal terpenting dan menentukan pertumbuhan kehidupan pernikahan. Les Parrott III dan Leslie Parrott mengatakan dalam buku berjudul “Saving Your Marriage before it start”, bahwa Komunikasi adalah nyawa suatu pernikahan.[1] Dalam buku The Mirages of Marriage dikatakan bahwa komunikasi yang salah adalah salah satu penyebab terbesar pernikahan tidak bekerja dengan baik.[2] Misalnya, seorang istri yang sudah kelelahan dengan pekerjaan rumah tangga sepanjang hari, maka ia membawa keletihan tersebut ketika ia dan suaminya tidur. Kemudian ketika suaminya tersebut feeling amorous dengan istrinya, maka karena dalam keletihan, istrinya tersebut membelakangi dia, dan berkata bahwa ia sangat letih hari ini, jadi lebih baik mereka tidur saja. Suami yang menerima perlakuan seperti ini akan merasa adanya penolakan, dia tidak tahu bahwa sebenarnya istrinya sedang letih sepanjang hari ini sehingga butuh istirahat.[3]
Contoh di atas menunjukkan bahwa betapa pentingnya komunikasi dalam pernikahan dan juga betapa pentingnya kepekaan terhadap komunikasi yang diterima. Hal ini sangat berpengurh terhadap jalannya sebuah rumah tangga. Hal senada juga di dikatakan oleh Ann Landers seorang penulis popupeler yang dikutip oleh sebuah buku, dia mengatakan “Hal yang penting di dalam suatu pernikahan adalah kemampuan untuk berkomunikasi. Kebanyakan persoalan dalam pernikahan berasal dari ketidakmampuan dua orang untuk berbicara satu terhadap yang lain.[4] Jadi berhasil atau gagalnya komunikasi dalam pernikahan, sangat mempengaruhi keutuhan pernikahan tersebut. Yakub Susabda dalam buku panduan untuk membimbing pasangan-pasangan yang akan menikah yang berjudul “Konseling Pranikah”, mengatakan bahwa sebagai peta dan gambar Allah, manusia adalah makhluk social yang sejak lahir membina komunikasi dengan sesamanya untuk menemukan makna dan tujuan hidupnya. Melalui komunikasi, manusia mengembangkan kepribadian, mengenal arti dari mempercayai, mengembangkan tanggung jawab, dan menikmati kedekatan dengan sesamanya.[5] Hal ini menunjukan betapa pentingnya komunikasi tersebut.
Komunikasi yang baik inilah yang membawa kehidupan rumah tangga semakin menjadi lebih baik. Jack Balswick mengatakan bahwa when family members communicate and express themselves in their own unique ways, family relationship grow and deepen.[6]  Akan tetapi betapa buruknya kehidupan berkeluarga jika di dalamnya, sesama anggotoa keluarga tidak ada komunikasi, tidak bisa menunjukkan perasaannya, dan pada akhirnya keluarga tersebut tidak bisa bertumbuh. Salah satu alasan yang dikemukakan oleh Wright tentang alasan seseorang tidak mau berkomunikasi yaitu Others are fearful of exposing what they feel or think. They do not want to run the risk of being rejected of hurt if someone else disagrees with them.[7] Takut mendapat penolakan dari pihak lain yang sering membuat sesorang begitu sulit untuk berkomunikasi, terlebih apabila hal tersebut sudah menyangkut masalah-masalah yang bersifat pribadi. Perasaan semacam ini juga yang terkadang dipendam oleh pasangan-pasangan tertentu dengan pasangannya, sehingga tidak tercipta komunikasi yang baik.
How to communication?
Realita yang terjadi sekarang ini adalah banyaknya pasangan yang memilih diam ketika mereka sedang memiliki masalah. Di saat salah satu pasangan melakukan kesalahan terkadang mereka tidak mau mengkomunikasikannya dan lebih memilih untuk mendiamkannya dan menyimpannya dalam hati. Menurut Lahaye, berdiam diri sangat berbahaya karena secara berangsur-angsur sikap diam memadamkan komunikasi dan mengakibatkan korban berat, baik secara jasmani maupun secara rohani atas seseorang.[8] Tidak sedikit pasangan yang memilih cara ini untuk menghindari percekcokon dalam pernikahan dan mereka berpikir itu akan menyelesaikan masalah, padahal hal tersebut tidak menyelesaikan masalah.
Kalau begitu bagaimana sebenarnya berkomunikasi? Penulis setuju dengan apa yang dikatakan oleh Lederer dan Jackson bahwa people in our culture believe that the most important communications are spoken or written.[9] Kita berada dalam satu kultur yang percaya bahwa komunikasi itu harus melalui kata-kata/berbicara atau ditulis (melalui tulisan). Dan dengan tegas Lederer mengatakan bahwa ini adalah satu pemahaman yang salah tentang komunikasi.[10] Menurut penulis komunikasi semacam ini dapat termasuk dalam kategori pseudo communication, karena dengan dua jenis komunikasi ini saja, tidak menjadi jaminan bahwa komunikator telah menyampaikan dengan jelas apa yang ia rasakan, namun bisa saja itu adalah sebuah manipulasi. Misalnya seorang istri yang seharian bersama dengan selingkuhnya. Kemudian ia berkata kepada suaminya bahwa seharian ini ia bersama dengan teman-temannya. Atau misalnya seorang suami yang pergi ke luar kota bersama dengan selingkuhannya. Kepada istrinya ia mengatakan bahwa ia ada tugas mendadak dari kantor untuk keluar kota. Jika hanya mengandalkan spoken atau writte maka amanlah pasangan yang selingkuh, tapi masalah tidak terselesaikan. Misalnya lagi, seorang istri yang sedang menghadapi masalah ditempat pekerjaan sehingga membuat ia begitu sedih. Kemudian ketika ditanya “Are you ok?”, maka ia menjawab bahwa ia baik-baik saja, dan pasangan yang mendapat jawaban seperti itu akan berpikir bahwa itu adalah jawaban literal dari pasangannya. Dan inilah kesalahan yang sering dilakukan dalam komunikasi. Jadi bagi penulis sendiri, kedua cara ini tidak cukup untuk disebut sebagai cara komunikasi yang efektif.  
Salah satu cara komunikasi yang sering terlewatkan untuk diperhatikan adalah nonverbal behavior. Sikap atau tindakan seseorang dapat menjadi cara berkomunikasi. Misalnya saja ketika seseorang menatap lawan bicara dengan tatapan tajam maka dapat dipastikan dia lagi marah, demikian juga dia menatap dengan lembut maka situasinya lagi baik. Demikian juga halnya dalam komunikasi di dalam keluarga. Balswick mengatakan bahwa jika seseorang tidak bisa mengkomunikasikan keinginannya atau perasaannya melalui kata-kata maupun tulisan maka ia dapat menggunakan cara yang lain, misalnya menyatakan rasa sayang melalui pelukan, tepukan, isyarat dengan kedipan mata, atau dengan gaya tubuh lainnya. Sehingga dengan contoh seperti ini ia menyimpulkan bahwa we do communicate through our facial expression, posture, and general body movements.[11] Ketika perasaan atau keinginan tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata maka kita dapat menyatakannya melalui tindakan atau gesture. Inilah bagian yang sering terlewatkan di dalam berkomunikasih, khususnya dalam pernikahan.
Bagaimana memahami pesan dalam komunikasi?
Berdasarkan uraian di atas terlihat jelas betapa pentingnya komunikasi dalam kehidupan pernikahan dan juga betapa sulitnya untuk berkomunikasi. Pernikahan akan bertumbuh jika didukung oleh komunikasi yang baik, namun betapa sulitnya untuk berkomunikasi karena komunikasi tidak hanya masalah apa yang kita katakan, tapi juga tentang apa yang dimaksud oleh pasangan. Kegagalan memahami pesan yang disampaikan dalam komunikasi yang terjadi dapat menjadi pemicu kegagalan pernikahan.
Kejadian 11:1-9 tentang menara Babel dapat menjadi salah satu contoh betapa pentingnya memahami pesan dalam berkomunikasi. Ayat 1-6 mencatat betapa kuatnya persatuan mereka karena mereka saat itu satu bahasa dan satu logat. Tapi di ayat 7-11 mencatat betapa hancurnya mereka. Setelah Tuhan melihat pekerjaan mereka maka Tuhan kemudian turun dan mengacaubalaukan bahasa mereka, sehingga mereka tidak mengerti lagi bahasa masing-masing (7). Akibatnya mereka semua terpencar kemana-mana dan tidak ada lagi persatuan di antara mereka. Kegagalan untuk memahami pesan yang disampaikan karena perbedaan bahasa, berhasil menggagalkan kesombongan bangsa Israel untuk membangun menara Babel. Dapat juga dibayangkan hal serupa akan terjadi dalam kehidupan berkeluarga ketika komunikasi itu gagal.

Lederer dan Jackson dalam bukunya memberikan 3 aspek yang perlu diperhatikan ketika terjadi komunikasi:[12]
1.      The report aspect, adalah terdiri dari apa yang dikatakan atau dituliskan, jadi apa yang dikatakan atau yang dituliskan itulah pesan yang ingin disampaikan.
2.      The command aspect adalah komunikasi dengan bahasa tubuh, contoh "go to the hell" (dengan mimik serius vs mimik lucu). Jika ia mengatakan kalimat seperti itu dengan wajah serius, penuh dengan emosi, mata menyala, maka ia memang sedang marah. Tapi jika ia mengatakan kalimat tersebut dengan ekspresi lucu, maka sebenarnya ia sedang bercanda.
3.      The context aspect adalah makna pesan yang disampaikan harus diartikan berdasarkan konteks, budaya, lingkungan, atau keadaan saat itu. Contoh: "I'll save you". Jika seorang penjaga kolam renang yang berkata demikian maka artinya adalah dia akan menolong lawan bicaranya atau menganggakatnya dari kolam renang. Tetapi jika yang mengatakannya adalah seorang misionaris maka pendengar mengasumsikannya bahwa yang dia maksud adalah untuk menolong dia menjadi orang kristen yang baik. 
            Ada anonim yang mengatakan bahwa Tuhan menciptakan 2 telinga dan satu mulut supaya kita lebih banyak mendengar dari pada berkata-kata. Yakobus 1:19 berkata bahwa lebih baik cepat mendengar daripada cepat berkata-kata dan marah. Hal ini menunjukkan bahwa betapa pentingnya mendengar dalam berkomunikasi, namun tentu saja mendengar yang dibutuhkan bukan hanya sekedar mendengar biasa saja, tapi juga dapat memahami apa yang didengar/ listening.
Sumber Pustaka
Balswick, Jack, The Famliy. ed.3. Pasadena: Fuller Theological Seminary, 2007.
Lahaye, Tim, Kebahagiaan Pernikahan Kristen. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1989.
Lederer, William J., & Don D. Jackson, The Mirages of Marriage. New York: W.W. Norton & Company, 1968.
Parrott III, Les, dan Leslie Parrott, ed. Andreas A.P. Sitanggang.  Saving Your Marriage before it start. Jakarta: Imanuel, 2007.
Susabda, Yakub B., Konseling Pranikah. Jakarta: Pioner Jaya.
Wright, H. Norman, Communication Key to Marriage. California: Regal Books Division, 1980




[1] Les Parrott III dan Leslie Parrott, ed. Andreas A.P. Sitanggang  Saving Your Marriage before it start (Jakarta: Imanuel, 2007), 77.
[2] William J. Lederer & Don D. Jackson, The Mirages of Marriage (New York: W.W. Norton & Company, 1968), 101.
[3] Lederer, 101.
[4] Tim Lahaye, Kebahagiaan Pernikahan Kristen (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1989), 120.
[5] Yakub B. Susabda Konseling Pranikah (Jakarta: Pioner Jaya), 57.
[6] Jack Balswick, The Famliy ed.3 (Pasadena: Fuller Theological Seminary, 2007), 237.
[7] H. Norman Wright Communication Key to Marriage (California: Regal Books Division, 1980), 66.
[8] Lahaye, 124.
[9] Lederer, 98.
[10] Lederer, 98.
[11] Balswick, 242.
[12] Lederer dan Jackson, 99-100.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar