Di dalam kehidupan sehari-hari
setiap manusia saling berkomunikasi satu dengan yang lain dengan menggunakan
bahasa yang dapat dimengerti oleh setiap pihak. Di dalam pernikahan komunikasi
juga merupakan hal terpenting dan menentukan pertumbuhan kehidupan pernikahan. Les
Parrott III dan Leslie Parrott mengatakan dalam buku berjudul “Saving Your
Marriage before it start”, bahwa Komunikasi adalah nyawa suatu pernikahan.[1]
Dalam buku The Mirages of Marriage dikatakan
bahwa komunikasi yang salah adalah salah satu penyebab terbesar pernikahan
tidak bekerja dengan baik.[2] Misalnya, seorang istri
yang sudah kelelahan dengan pekerjaan rumah tangga sepanjang hari, maka ia
membawa keletihan tersebut ketika ia dan suaminya tidur. Kemudian ketika suaminya
tersebut feeling amorous dengan
istrinya, maka karena dalam keletihan, istrinya tersebut membelakangi dia, dan
berkata bahwa ia sangat letih hari ini, jadi lebih baik mereka tidur saja.
Suami yang menerima perlakuan seperti ini akan merasa adanya penolakan, dia
tidak tahu bahwa sebenarnya istrinya sedang letih sepanjang hari ini sehingga
butuh istirahat.[3]
Contoh di atas menunjukkan bahwa betapa pentingnya
komunikasi dalam pernikahan dan juga betapa pentingnya kepekaan terhadap
komunikasi yang diterima. Hal ini sangat berpengurh terhadap
jalannya sebuah rumah tangga. Hal senada juga di dikatakan oleh Ann Landers
seorang penulis popupeler yang dikutip oleh sebuah buku, dia mengatakan “Hal
yang penting di dalam suatu pernikahan adalah kemampuan untuk berkomunikasi.
Kebanyakan persoalan dalam pernikahan berasal dari ketidakmampuan dua orang
untuk berbicara satu terhadap yang lain.[4] Jadi berhasil atau gagalnya
komunikasi dalam pernikahan, sangat mempengaruhi keutuhan pernikahan tersebut. Yakub
Susabda dalam buku panduan untuk membimbing pasangan-pasangan yang akan menikah
yang berjudul “Konseling Pranikah”, mengatakan bahwa sebagai peta dan gambar
Allah, manusia adalah makhluk social yang sejak lahir membina komunikasi dengan
sesamanya untuk menemukan makna dan tujuan hidupnya. Melalui komunikasi,
manusia mengembangkan kepribadian, mengenal arti dari mempercayai,
mengembangkan tanggung jawab, dan menikmati kedekatan dengan sesamanya.[5] Hal
ini menunjukan betapa pentingnya komunikasi tersebut.
Komunikasi
yang baik inilah yang membawa kehidupan rumah tangga semakin menjadi lebih
baik. Jack Balswick mengatakan bahwa when
family members communicate and express themselves in their own unique ways,
family relationship grow and deepen.[6] Akan tetapi betapa buruknya kehidupan
berkeluarga jika di dalamnya, sesama anggotoa keluarga tidak ada komunikasi,
tidak bisa menunjukkan perasaannya, dan pada akhirnya keluarga tersebut tidak
bisa bertumbuh. Salah satu alasan yang dikemukakan oleh Wright tentang alasan
seseorang tidak mau berkomunikasi yaitu Others
are fearful of exposing what they feel or think. They do not want to run the
risk of being rejected of hurt if someone else disagrees with them.[7]
Takut mendapat penolakan dari pihak lain yang sering membuat sesorang begitu
sulit untuk berkomunikasi, terlebih apabila hal tersebut sudah menyangkut
masalah-masalah yang bersifat pribadi. Perasaan semacam ini juga yang terkadang
dipendam oleh pasangan-pasangan tertentu dengan pasangannya, sehingga tidak
tercipta komunikasi yang baik.
How to communication?
Realita
yang terjadi sekarang ini adalah banyaknya pasangan yang memilih diam ketika
mereka sedang memiliki masalah. Di saat salah satu pasangan melakukan kesalahan
terkadang mereka tidak mau mengkomunikasikannya dan lebih memilih untuk
mendiamkannya dan menyimpannya dalam hati. Menurut Lahaye, berdiam diri sangat
berbahaya karena secara berangsur-angsur sikap diam memadamkan komunikasi dan
mengakibatkan korban berat, baik secara jasmani maupun secara rohani atas
seseorang.[8] Tidak
sedikit pasangan yang memilih cara ini untuk menghindari percekcokon dalam
pernikahan dan mereka berpikir itu akan menyelesaikan masalah, padahal hal
tersebut tidak menyelesaikan masalah.
Kalau
begitu bagaimana sebenarnya berkomunikasi? Penulis setuju dengan apa yang
dikatakan oleh Lederer dan Jackson bahwa people
in our culture believe that the most important communications are spoken or
written.[9] Kita
berada dalam satu kultur yang percaya bahwa komunikasi itu harus melalui
kata-kata/berbicara atau ditulis (melalui tulisan). Dan dengan tegas Lederer
mengatakan bahwa ini adalah satu pemahaman yang salah tentang komunikasi.[10]
Menurut penulis komunikasi semacam ini dapat termasuk dalam kategori pseudo communication, karena dengan dua
jenis komunikasi ini saja, tidak menjadi jaminan bahwa komunikator telah
menyampaikan dengan jelas apa yang ia rasakan, namun bisa saja itu adalah
sebuah manipulasi. Misalnya seorang istri yang seharian bersama dengan
selingkuhnya. Kemudian ia berkata kepada suaminya bahwa seharian ini ia bersama
dengan teman-temannya. Atau misalnya seorang suami yang pergi ke luar kota
bersama dengan selingkuhannya. Kepada istrinya ia mengatakan bahwa ia ada tugas
mendadak dari kantor untuk keluar kota. Jika hanya mengandalkan spoken atau writte maka amanlah pasangan yang selingkuh, tapi masalah tidak
terselesaikan. Misalnya lagi, seorang istri yang sedang menghadapi masalah
ditempat pekerjaan sehingga membuat ia begitu sedih. Kemudian ketika ditanya
“Are you ok?”, maka ia menjawab bahwa ia baik-baik saja, dan pasangan yang
mendapat jawaban seperti itu akan berpikir bahwa itu adalah jawaban literal
dari pasangannya. Dan inilah kesalahan yang sering dilakukan dalam komunikasi. Jadi
bagi penulis sendiri, kedua cara ini tidak cukup untuk disebut sebagai cara
komunikasi yang efektif.
Salah
satu cara komunikasi yang sering terlewatkan untuk diperhatikan adalah nonverbal behavior. Sikap atau tindakan
seseorang dapat menjadi cara berkomunikasi. Misalnya saja ketika seseorang
menatap lawan bicara dengan tatapan tajam maka dapat dipastikan dia lagi marah,
demikian juga dia menatap dengan lembut maka situasinya lagi baik. Demikian
juga halnya dalam komunikasi di dalam keluarga. Balswick mengatakan bahwa jika
seseorang tidak bisa mengkomunikasikan keinginannya atau perasaannya melalui
kata-kata maupun tulisan maka ia dapat menggunakan cara yang lain, misalnya
menyatakan rasa sayang melalui pelukan, tepukan, isyarat dengan kedipan mata,
atau dengan gaya tubuh lainnya. Sehingga dengan contoh seperti ini ia menyimpulkan
bahwa we do communicate through our
facial expression, posture, and general body movements.[11]
Ketika perasaan atau keinginan tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata maka
kita dapat menyatakannya melalui tindakan atau gesture. Inilah bagian yang sering terlewatkan di dalam
berkomunikasih, khususnya dalam pernikahan.
Bagaimana memahami pesan dalam komunikasi?
Berdasarkan
uraian di atas terlihat jelas betapa pentingnya komunikasi dalam kehidupan
pernikahan dan juga betapa sulitnya untuk berkomunikasi. Pernikahan akan
bertumbuh jika didukung oleh komunikasi yang baik, namun betapa sulitnya untuk
berkomunikasi karena komunikasi tidak hanya masalah apa yang kita katakan, tapi
juga tentang apa yang dimaksud oleh pasangan. Kegagalan memahami pesan yang disampaikan
dalam komunikasi yang terjadi dapat menjadi pemicu kegagalan pernikahan.
Kejadian
11:1-9 tentang menara Babel dapat menjadi salah satu contoh betapa pentingnya
memahami pesan dalam berkomunikasi. Ayat 1-6 mencatat betapa kuatnya persatuan
mereka karena mereka saat itu satu bahasa dan satu logat. Tapi di ayat 7-11
mencatat betapa hancurnya mereka. Setelah Tuhan melihat pekerjaan mereka maka
Tuhan kemudian turun dan mengacaubalaukan bahasa mereka, sehingga mereka tidak
mengerti lagi bahasa masing-masing (7). Akibatnya mereka semua terpencar
kemana-mana dan tidak ada lagi persatuan di antara mereka. Kegagalan untuk
memahami pesan yang disampaikan karena perbedaan bahasa, berhasil menggagalkan
kesombongan bangsa Israel untuk membangun menara Babel. Dapat juga dibayangkan
hal serupa akan terjadi dalam kehidupan berkeluarga ketika komunikasi itu
gagal.
Lederer dan Jackson dalam bukunya
memberikan 3 aspek yang perlu diperhatikan ketika terjadi komunikasi:[12]
1. The report aspect, adalah terdiri dari apa yang dikatakan atau dituliskan, jadi apa yang
dikatakan atau yang dituliskan itulah pesan yang ingin disampaikan.
2. The command aspect adalah komunikasi
dengan bahasa tubuh, contoh "go to the hell" (dengan mimik serius vs
mimik lucu). Jika ia mengatakan kalimat seperti itu dengan wajah serius, penuh
dengan emosi, mata menyala, maka ia memang sedang marah. Tapi jika ia
mengatakan kalimat tersebut dengan ekspresi lucu, maka sebenarnya ia sedang
bercanda.
3. The context aspect adalah makna pesan yang disampaikan harus diartikan berdasarkan konteks,
budaya, lingkungan, atau keadaan saat itu. Contoh: "I'll save you".
Jika seorang penjaga kolam renang yang berkata demikian maka artinya adalah dia
akan menolong lawan bicaranya atau menganggakatnya dari kolam renang. Tetapi jika
yang mengatakannya adalah seorang misionaris maka pendengar mengasumsikannya
bahwa yang dia maksud adalah untuk menolong dia menjadi orang kristen yang baik.
Ada anonim yang mengatakan bahwa
Tuhan menciptakan 2 telinga dan satu mulut supaya kita lebih banyak mendengar
dari pada berkata-kata. Yakobus 1:19 berkata bahwa lebih baik cepat mendengar daripada
cepat berkata-kata dan marah. Hal ini menunjukkan bahwa betapa pentingnya
mendengar dalam berkomunikasi, namun tentu saja mendengar yang dibutuhkan bukan
hanya sekedar mendengar biasa saja, tapi juga dapat memahami apa yang didengar/
listening.
Sumber Pustaka
Balswick,
Jack, The Famliy. ed.3. Pasadena:
Fuller Theological Seminary, 2007.
Lahaye,
Tim, Kebahagiaan Pernikahan Kristen. Jakarta:
BPK Gunung Mulia, 1989.
Lederer,
William J., & Don D. Jackson, The
Mirages of Marriage. New York: W.W. Norton & Company, 1968.
Parrott
III, Les, dan Leslie Parrott, ed. Andreas A.P. Sitanggang. Saving
Your Marriage before it start. Jakarta: Imanuel, 2007.
Susabda,
Yakub B., Konseling Pranikah. Jakarta:
Pioner Jaya.
Wright,
H. Norman, Communication Key to Marriage.
California: Regal Books Division, 1980
[1] Les
Parrott III dan Leslie Parrott, ed. Andreas A.P. Sitanggang Saving
Your Marriage before it start (Jakarta: Imanuel, 2007), 77.
[2]
William J. Lederer & Don D. Jackson, The
Mirages of Marriage (New York: W.W. Norton & Company, 1968), 101.
[3] Lederer,
101.
[4] Tim
Lahaye, Kebahagiaan Pernikahan Kristen
(Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1989), 120.
[5] Yakub B.
Susabda Konseling Pranikah (Jakarta:
Pioner Jaya), 57.
[6]
Jack Balswick, The Famliy ed.3
(Pasadena: Fuller Theological Seminary, 2007), 237.
[7] H.
Norman Wright Communication Key to
Marriage (California: Regal Books Division, 1980), 66.
[8] Lahaye,
124.
[9]
Lederer, 98.
[10] Lederer,
98.
[11]
Balswick, 242.
[12] Lederer
dan Jackson, 99-100.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar