Total Tayangan Halaman

Senin, 01 September 2014

Tuhan Bukan No. 1 dalam Hidupku


Refleksi hari ini kali ya....

Sering sekali setiap umat beragama mengatakan bahwa God is number one. Tuhan adalah nomor satu dalam hidup ini. Tapi hari ini temanku bilang Tuhan bukan nomor satu dalam hidup ini. Kok bisa bro? Bukankah kita memang harus menempatkan Tuhan di bagian no satu?

Logikanya begini....
Misalnya, ketika seseorang berkata kepada kekasihnya atau pacarnya, "beb, kamu adalah pacar no satuku di dunia ini yang paling mengerti aku", atau seorang sahabat yang berkata kepada sahabatnya "kamu adalah sahabat no satu terbaik di dunia ini". Apakah makna yang tersirat dibalik kalimat seperti itu? Kalau kita seseorang itu berkata "kamu adalah pacarku no satu di dunia ini", maka dalam kalimat tersebut tersirat ada nomor berikutnya bukan? Ada nomor dua, nomor tiga, alias ada pacar nomor dua, ada pacar nomor tiga. Kamu bisa aja bro analisanya, mentang-mentang udah lulus kuliah metode riset kamu belagu? hehehhe. Tapi hal ini cukup masuk akal juga sih. Hayo... sekarang berhati-hatilah dan waspadalah wahai engkau manusia jika pacarmu berkata "kamu adalah pacar nomor satunya di dunia", jangan-jangan ada pacar nomor dua nya di kampung, pacar nomor tiga di kampus, pacar nomor empat di komunitas yang ia ikuti.

Kembali ke God is number one...
Dengan memakai logika di atas, berarti ketika kita berkata bahwa Tuhan adalah nomor satu dalam hidup ini, berarti ada 'tuhan' yang berikutnya, 'tuhan nomor dua', 'tuhan nomor tiga' de el el. Padahal kita tahu bahwa Tuhan itu Esa/Satu, nothing else. Teman saya pernah berkata begini "Saya itu tidak terlalu memikirkan jodoh dalam hidup ini, itu nomor yang kesekian, yang penting nomor satu itu Tuhan, nomor dua uang alias pekerjaan, nomor tiga membahagiakan ortu, barulah yang lain-lainnya berada dinomor berikutnya." Dan saya rasa kita semua umat beragama yang mengaku adanya Tuhan pun pernah mengatakan hal yang sama. Tapi, kemudian saya mulai berpikir, kalau begitu kita itu mencoba menyamakan Tuhan dengan yang lainnya, dengan uang, dengan ortu, dengan kekasih, walaupun berada dalam level yang berbeda. Tapi bukankah itu semua sebenarnya berada di bawah naungan Tuhan? Masakan kita menyamakan Dia dengan apa yang Ia ciptakan?

God is number one...
Ini adalah kalimat yang sering kita ucapkan bahkan karena terlalu seringnya, ia sudah berada di bawah alam sadar kita sehingga ketika kita mengucapkannya, kita tidak lagi memaknainya, tapi asal bunyi saja alias asbun. Hal yang saya takuti juga dalam hidup saya adalah ketika saya mengucapkan kalimat ini, jangan-jangan saya juga sudah terjebak dengan pola rutinitas agama, sehingga saya pun tidak menyadari dan memaknainya ketika saya mengucapkannya.

Mungkin perlu merenungkan kembali apa yang kita imani selama ini, apakah benar ada Tuhan dalam hidup ini atau tidak. Sehingga pada akhirnya kita berkata "TUHAN ADALAH SATU-SATUNYA DALAM HIDUP INI", bukan lagi Tuhan adalah nomor satu. Ya, sepertinya ini  kalimat yang paling tepat yang seharusnya kita gunakan mulai saat ini. Jika kita berkata "Tuhan adalah satu-satunya", maka memang tidak ada yang lain lagi. Tapi bukan berarti Tuhan akan ada satu-satunya karena kita mengakui-Nya, tidak, tapi ya Tuhan tetap ada. Terus yang lain-lain itu termasuk apa bro? Itu adalah bonus bro... :)



Thanks to Mr.A.B and Prof. Y.A.


"SESUATU AKAN DISEBUT ABADI JIKA DIABADIKAN"












Kamis, 28 Agustus 2014

Wahai Pemimpin Agama/Rohaniwan Dimanakah Suaramu?

sumber mbah google
 Belakangan ini saya cukup dibuat gelisah oleh pemberitaan dari media sosial tentang keadaan yang dialami oleh tanah kelahiran saya, yaitu Pulau Nias. Sumber berita yang saya maksud tersebut adalah berbagai group atau FP di Facebook yang memberitakan atau melapaorkan keadaan Nias saat ini, sebut saja misalnya Liputan Nias, Lead Center Nias, Forum Masyarakat Kepulauan Nias Indonesia, dll. Hampir semua memberitakan tentang keadaan Nias, yang mulai terpuruk dengan keadaan yang ada, baik itu masalah, sosial, ekonomi, maupun moral. Memang ada juga hal-hal baik yang diberitakan, tapi kapasitasnya minim. Saya mengikut perkembangan Nias melalui saluran-saluran berita di media social tersebut. 


Sudah lebih 7 tahun saya meninggalkan Nias (Nias yang selalu saya rindukan). Dari media social tersebut saya membaca bahwa keadaan social ekonomi masyarakat semakin melemah, yang kaya semakin kaya, yang miskin semakin miskin, harga sembako naik, harga karet menurun, secara moral juga mulai bermasalah, pemimpin yang terkait korupsi, masalah ketidak adilan, masalah CPNS, jumlah pengangguran, SDM yang bekerja tidak sesuai dengan keahliannya (misalnya lulusan akper jadi pegawai BANK, lulusan S.Pdk jadi camat, dll.).

Saya merasa bahwa masalah di atas bukanlah masalah yang baru terjadi, tapi ini adalah masalah yang sudah terjadi dimasa lalu, berpuluh tahun yang lalu sudah terjadi. Dari lahir sampai usia 18 tahun saya tinggal di Nias, dan masalah itu sudah ada, dan saya melihat, mendengar, dan merasakannya.

Ketika ada masalah seperti ini, siapa yang menjadi sasaran amarah kita? Siapa yang menjadi sasaran kritikan? That’s right!!! Ya benar, pemerintah menjadi sasaran amarah kita, kita mengkritik habis-habisan, kita hujat, kita maki sepuas kita, kita kutuk sepuas kita. Kenapa? Karena kita merasa merekalah yang bertanggung jawab terhadap jalannya kehidupan di Nias. Inilah yang kita lakukan, baik dulu, berpuluh-puluh tahun yang lalu, maupun saat ini. Apa hasilnya? Jawab sendiri.

Namun satu hal yang ingin saya pertanyakan seperti judul tulisan ini adalah WAHAI ROHANIWAN DIMANAKAH SUARAMU? Ini adalah hal yang belakangan ini saya pertanyakan. Adakah juga peran para pemimpin agama di Nias, terhadap kondisi keadaan di Nias? Sebagian besar Nias adalah daerah yang memiliki keyakinan kepada Tuhan Yang Maha Esa, dengan berbagai agama, sebut saja Kristen Protestan, Islam, Katolik, (ini adalah agama yang mendominasi daerah Nias). Tentu saja dengan kapasitas keyakinan yang seperti ini, seharusnya keadaan Nias lebih baik. Namun sudah kapasitas keyakinan yang relatif besar tersebut, memberikan pengaruh kepada masyarakat Nias? Sudahkah juga para pemimpin umat ini menyuarakan suara Tuhan kepada masyarakat dan kepada pemerintah? Sudahkah juga para pemimpin umat ini menyuarakan suara masyarakat kepada pemerintah? Jawab sendiri.

Selama 18 tahun saya tinggal di Nias, saya tidak pernah melihat bahwa agama memberikan dampak yang signifikan terhadap kemajuan masyarakat disegala sektor, seolah-olah menutup mata. Saya tidak pernah melihat dan mendengar bahwa kaum rohaniawan berdiskusi dengan pemerintah untuk mengatasi masalah Nias (jika pernah, salah sendiri, kenapa tidak dipublish kepada masyarakat).

Sudah saatnya kita mulai menyoroti peran kaum rohaniawan di Nias. Sudah bosan dengan cacian, kritikan, hujatan kepada pemerintah. Mari sama-sama bertanya WAHAI KAUM ROHANIWAN/PEMIMPIN UMAT DIMANAKAH SUARAMU?

Saya teringat berbagai peristiwa yang pernah terjadi di Nias, ketika saya masih tinggal di Nias maupun sampai saat ini. Misalnya ketika terjadi masalah di satu desa, sebut saja perkelahian, keributan dalam rumah tangga, pencurian, perzinahan, pembunuhan, dll. Biasanya masalah ini diselesaikan di kantor desa atau juga di rumah kepada desa. Yang menyelesaikannya adalah kepala desa, kepala dusun, dan aparat desa. Dimana pemimpin umat? Dimana kaum rohaniwan? Kalau bukan duduk dibelakang maka duduk di rumah. Contoh yang lain, ketika masa-masa pemilihan, baik pemilihan kepada desa, kepada daerah, maupun pemilihan presiden, apakah umat pernah diberikan juga pemahaman, baik itu di gereja, mesjid, wihara, untuk memilih pemimpin yang baik, benar, adil, jujur? Selama sepengetahuan saya tidak pernah. Suatu hal yang ironis sebenarnya, jika kita semua tutup mata dengan hal-hal tersebut. Saya tidak pernah melihat pemimpin umat/kaum rohaniwan berbicara atau diskusi dengan kepada desa, camat, bupati, walikota untuk membicarakan tentang kemajuan masyarakat Nias. Saya tidak pernah melihat pemimpin umat menegur pemerintah ketika melakukan kesalahan. Bukankan agama tidak boleh masuk dalam pemerintahan? Siapa bilang, justru agama dan pemerintah melakukan satu kerjasama yang baik demi kemajuan masyarakat.

Yang saya takutkan dan yang saya duga, pemimpin umat/kaum rohaniawan takut menyuarakan hal-hal seperti ini. Apakah takut posisinya terancam, takut dicap penjilat, atau lain sebagainya. Kecuali jika kedua hal ini dibedakan dan berdiri sendiri. Pemerintah sendiri, agama sendiri (itu beda cerita lagi). Atau jangan-jangan agama (apapun itu agamanya), mengambil keuntungan dengan situasi yang seperti ini? Jawab sendiri.
Benar kata orang diam adalah emas, tapi kita juga harus tahu bahwa bicara itu adalah permata, berlian, yang nilainya lebih tinggi dari emas. Mungkin kita berkata dengan diam, bisa menyelesaikan masalah, tapi itu sebenarnya salah. Saya mempertanyakan diamnya kaum rohaniwan. 

WAHAU KAUM ROHANIWAN/PEMIMPIN UMAT DIMANAKAH SUARAMU? Jawab sendiri. 


(Tulisan ini adalah curah hati putra Nias di tanah rantau, yang merindukan daerahnya menjadi lebih baik)