Latar
Belakang Masalah
Pada
umumnya setiap manusia memiliki sifat yang unik di dalam kehidupannya, dan itu
adalah kodrat atau sifat yang dibawa sejak lahir. Setiap kepribadian tersebut
pasti memiliki dampak terhadap dirinya sendiri maupun diluar dirinya, baik itu
kepribadian yang baik/normal maupun kepribadian yang tidak baik/abnormal. Baik
itu kelebihan maupun kelemahan pribadi. Baik itu yang disadari kehadirannya
maupun yang tidak disadari. Salah satu contohnya adalah kemarahan atau anger. Ini adalah salah satu sifat
alamiah yang dimiliki oleh setiap manusia. Anak kecil tidak perlu diajarkan
cara untuk marah, karena dengan sendirinyapun mereka telah bisa mengekspresikan
kemarahan mereka. Dan masih banyak kelemahan-kelemahan lain yang dimiliki oleh
manusia, misalnya anxity, self esteem.
Satu
bagian kelemahan yang penulis bahas dalam makalah ini adalah masalah anger/kemarahan. Hal ini beranjak dari
kelemahan yang penulis miliki. Penulis juga secara pribadi bergumul terhadap
hal ini. Karena penulis sadar bahwa jika hal ini terus menerus dibiarkan maka
tidak akan baik dalam segala aspek. Baik itu dalam pelayanan, relasi dengan
teman, keluarga, maupun terhadap diri sendiri. Di dalam pengalaman yang penulis
alami anger ini cukup memberikan
dampak yang tidak baik khususnya dalam berelasai dengan sesama. Kemunculannya
terkadang tidak disadari, sehingga ketika ia muncul maka tidak ada kesiapan
untuk mengendalikannya.
Dari
uraian latar belakang di atas, maka penulis dalam makalah ini akan membas
tentang PENGARUH KEMARAHAN TERHADAP RELASI INTERPERSONAL.
Tujuannya adalah untuk mengetahui
pengaruh kemarahan terhadap relasi interpersonal.
II.
KEMARAHAN
A. Definisi
Setiap manusia pasti
memiliki cara tersendiri untuk mengekspresikan perasaan atau emosi yang sedang
dialaminya, baik itu senang, marah, sedih, bingung dan lain sebagainya. Expressions of emotion are one of many
important signals available on the human face providing information about
others’ intentions and potentially signaling interpersonal threat.[1]
Jadi dari ekspresi yang ditunjukkan oleh seseorang dapat memberi satu
pengertian bagi orang lain tentang perasaan orang tersebut. Salah satu ekspresi
yang ditunjukkan oleh manusia untuk mengungkapkan perasaannya adalah marah/anger. Anger adalah keadaan emosi yang
bisa dialami oleh setiap orang pada saat-saat tertentu, yang bisa diekspresikan
secara terpendam maupun terbuka terang-terangan, yang bisa berlaku singkat,
bisa pula memakan waktu yang panjang dalam bentuk kebencian, dendam dan
sebagainya.[2]
Anger/ kemarahan dapat juga diartikan
sebagai tanggapan fisik dan emosional atas pengalaman atau situasi.[3] Di
dalam Kamus Psikologi anger diartikan
sebagai reaksi emosional terhadap kekecewaan, terluka, perlakuan campurtangan dan
sebagainya yang dicirikan dengan ketidak-senangan dan permusuhan. Kemarahan
dapat membangkitkan agresi dan disertai dengan berfungsinya system syaraf
otonomis.[4]
Anger
bagi sebagian besar orang terkadang memiliki fungsi yang esensial bagi dirinya,
artinya mendatangkan keuntungan bagi diri sendiri. Anger
during extinction is related to approach motivation.[5]
Jadi dapat dikatakan bahwa kemarahan seseorang berkaitan erat dengan motivasi
yang ada dibalik kemarahan itu. Tidak sedikit orang yang mencoba mempertahankan
anger ini di dalam diriny, sehingga
orang tidak mengetahuinya namun ada juga orang-orang tertentu yang dapat
menunjukkan kemarahannya dengan berbagai penyebab dan alasan yang dimiliki oleh
setiap orang.
Ada beberapa alasan mengapa manusia menggunakan
kemarahan bagi keuntungan pribadi:[6]
-
Untuk
mengendalikan dan memanipulasi orang lain
-
Untuk
memutahkan emosi-emosi negative
-
Untuk
meredakan stress
-
Untuk
menjaga orang lain tetap berada dalam jarak aman
-
Untuk
menghindarkan diri dari tindakan menghadapi masalah kita yang lebih mendalam
dan menyakitkan.
-
Untuk
mengalihkan perhatian, menjauh dari persoalan sesungguhnya
-
Untuk
menyembunyikan luka-luka mendalam
-
Untuk
merasa dominan, berkuasa, dan menakutkan
-
Untuk
membalas dendam
-
Untuk
menghindar dari perhatian orang
-
Untuk
mencegah konflik
-
Untuk
menghindar dari perubahan
-
Untuk
mendahindar dari tindakan menghadapi “yang tidak diketahui”
-
Untuk
merasa lebih dari yang lain
Hal
ini di atas menunjukkan bahwa ekspresi kemarahan yang ditunjukkan oleh
seseorang sering sekali menjadi satu keuntungan tersendiri bagi dirinya
sehingga sifat marah tersebut tetap dipertahankan dalam dirinya. Namun
sebenarnya apa bila kemarahan ini dibiarkan terus menerus maka seseorang hanya
akan menghabiskan waktunya dalam bergumul tentang kemarahannya. Orang yang
terus-menerus bergumul dengan masalah amarah tidak memanfaatkan kemampuan yang
ada di dalam dirinya untuk menguasai gejolak emosinya.[7]
Amarah yang dimiliki terus membuat dirinya semakin tercekam dan tidak membuat
ia nyaman dengan dirinya sendiri, karena terganggu dengan kemarahannya.
B. Faktor-Faktor
Yang Mempengaruhi Kemarahan
-
Personal
Worth
Setiap manusia memiliki persepsi yang
berbeda-beda tentang dirinya. Persepsi si A berbeda dengan persepsi si B, sehingga hal ini
mempengaruhi kepribadian seseorang. Persepsi merupakan asumsi tentang
kebenaran. Ini penalaran internal yang digunakan untuk mendefinisikan diri
sendiri, orang lain, dan juga kejadian-kejadian dalam hidup. Persepsi ini
dipengaruhi oleh akumulasi pengalaman-pengalaman, perkembangan masa kecil, dan
tanggapan terhadap rangsangan yang diterima setiap hari.[8]
Hal ini menunjukkan bahwa pengalaman juga sangat berpengaruh dalam membentuk
persepsi seseorang.
Salah
satu persepsi diri yang dimiliki oleh seseorang adalah harga diri. Penghargaan
diri adalah kebutuhan manusia yang kuat. Itu adalah kebutuhan manusiawi
mendasar yang memberikan kontribusi sangat penting terhadap proses kehidupan
yang sangat penting bagi perkembangan yang normal dan sehat, penghargaan diri
memiliki nilai bertahan hidup.[9]
Kekuatan dari harga diri ini membuat manusia melakukan berbagai cara untuk mempertahankannya
dengan cara menunjukkan berbagai tindakan. Di dalam buku The Anger Workbook, dikatan bahwa anger is ignited when the person perceives rejection or invalidation.
Whether or not that is the message intended by the speaker, the angry person
feels that his or her dignity has been demeaned.[10]
Jadi ketika seseorang tersebut merasa ditolak maka ia merasa harga dirinya
direndahkan sehingga ia menjadi marah. Hal inilah yang sering sekali menjadi
pemicu kemarahan dalam diri seseorang. Penulis secara pribadi memiliki
penghargaan diri yang terlalu tinggi. Jadi ketika seseorang itu memberi masukan
atau kritikan tehadap penulis, maka penulis merasa bahwa orang lain sedang
ingin menjatuhkan penulis, tidak menghargai. Pernah juga ketika mantan pacar
penulis selingkuh, penulis merasa bahwa harga diri penulis sebagai seorang
laki-laki sedang terancam, tidak lagi dihargai maka penulispun meluapkan
kemarahan kepada mantan pacar dan juga kepada teman-teman penulis.
Kemarahan
yang diluapkan ini menjadi satu senjata ampuh bagi orang yang bersangkutan,
karena dengan luapan amarahanya ia merasa dapat melindungi diri bahkan dapat
menjaga harga dirinya. Yakub Susabda mengatakan bahwa anger sering sekali menjadi alat untuk melindungi diri bahkan
membalas ancaman yang dirasakan oleh seseorang. Karena dengan menjadikan orang
lain obyek dari kemarahan, maka perasaan sakit dan terancam itu berkurang.[11]
Ini adalah cara terbaik dari perlindungan terhadap harga diri yang tinggi. Inilah
yang terkadang penulis lakukan ketika berada dalam situasi harga terancam.
Melalui kemarahan penulis ingin menunjukkan diri yang hebat, harus dihargai.
-
Frustasi
Frustasi adalah suatu kegagalan
memperoleh kepuasan, rintangan terhadap aktivitas yang diarahkan untuk mencapai
tujuan tertentu, keadaan emosional yang diakibatkan oleh rasa terkekang, kecewa
dan kekalahan.[12]
Paul A. Huck juga mengartikan bahwa a
frustration is the condition of wanting something and not getting it, or not
wanting something and having it forced on you.[13]
Perasaan ini lebih mengarah kepada reaksi terhadap situasi yang tidak diinginkan.
Hal serupa disebutkan oleh L. Jean Whinghter. Whinghter mengatakan
One such negative affective reaction is
frustration, a response that may result for any individual who falls behind
while working on tasks.[14] Ketika
mengharapkan sesuatu namun tidak mendapatkannya maka akan terjadi kekecewaan
yang sangat besar sehingga terjadilah frustasi yang diluapkan dengan amarah.
Frustrasi ini lebih mengarah kepada psikologi seseorang. Frustasi itu
bermacam-macam, dan makin besar derajat frustasi makin besarlah potensi anger
yang timbul.[15]
Frustasi
dapat muncul dari berbagai peristiwa, misalnya jalan macet, antrean panjang,
kondisi ekonomi, atau karena orang lain.[16]
Hal ini sebenarnya adalah hanya pemicu karena begitu besarnya pengharapan yang
diberikan terhadap hal tersebut. Misalnya berharap jalan raya tetap lancar,
ekonomi keluarga tetap stabil, berharap orang lain bisa memahami, namun ketika
apa yang diharapkan itu tidak bisa terwujudkan maka akan membuat seseorang
tersebut menjadi frustasi. Jadi, saat tujuan terhalang dan hidup tidak berjalan
seperti yang diinginkan, kita frustasi.[17]
Apa
sebenarnya hubungan Antara harapan, frustasi, dan kemarahan? Ingram mengutip:
Anda berasumsi bahwa orang-orang
tahu dan menerima peraturan-peraturan Anda. Ketika mereka melanggar
harapan-harapan Anda, perilaku mereka terlihat seperti pelanggaran yang
disengaja terhadap apa yang benar, cerdas, beralasan, atau berakhlak…. Misalnya
adalah orang lain tidak melihat kenyataan dengan cara Anda. Pandangan mereka
terhadap situasi diwarnai oleh kebutuhan, perasaan, dan sejarah mereka
sendiri…. Jadi, masalah pertama dengan harapan adalah orang yang anda marahi
jarang sekali setuju dengan Anda.[18]
Kutipan
di atas menjelaskan bahwa pengharapan yang biasa diberikan kepada orang lain
terkadang itu adalah sebuah tuntutan yang menuntut orang lain bersikap sesuai
yang diinginkan. Lupa bahwa orang lain juga memiliki kepribadian yang tidak
sama. Sehingga ketika orang lain tidak memenuhi keinginan yang orang lain
inginkan, maka orang lain tersebut menjadi frustasi dan frustasi itu dituangkan
atau ditunjukkan melalui kemarahan. Jadi ketika seseorang berharap dan apa yang
dialami ternyata terlalu tidak sesuai maka amarah itu meledak.[19]
Jalanan yang macet terkadang membuat penulis frustrasi, apalagi ketika sedang
‘berlomba’ dengan waktu. Penulis juga pernah marah ketika yang penulis harapkan
tidak terpenuhi. Saat itu adalah masa-masa perayaan natal sebuah sekolah di
pedalaman Papua. Penulis menjadi penanggung jawab perayaan natal tersebut.
Kemudian penulis memberikan tugas kepada beberapa orang untuk mengerjakan
sesuatu, namun ternyata mereka tidak mengerjakannya, mereka malahan asyik
bermain volley. Dan itu benar-benar menimbulkan frustrasi yang besar ditambah
lagi hari H nya pada saat itu tinggal 2 hari, sehingga penulis benar-benar
tidak dapat mengendalikan emosi, dan marah kepada mereka. Memang penulis tidak
marah dengan ‘brutal’, namun saya lebih meluapkannya dengan kata-kata yang
cukup menyakitkan untuk didengar. Mungkin ini juga adalah salah satu hal yang
penulis sesali dalam hidup saya, karena pada saat itu penulis tidak menyadari
telah menyakiti hati mereka dengan kata-kata yang penulis ungkapkan. Meskipun tujuan
penulis benar namun caranyalah yang salah.
III.
RELASI
INTERPERSONAL
A. Definisi
Hubungan
interpersonal adalah hubungan yang terdiri atas dua orang atau lebih, yang
memiliki ketergantungan satu sama lain dan menggunakan pola interaksi yang
konsisten.[20]
Jadi ketika seseorang memulai suatu interaksi denga orang lain, itu sudah
disebut relasi interpersonal. Hubungan interpersonal biasanya dimulai dengan interpersonal attraction. Interpersonal
attraction adalah penilaian seseorang terhadap sikap orang lain, dimana
penilaian ini dapat diekspresikan melalui satu dimensi, dari strong liking sampai dengan strong dislike.[21]
Hal ini menunjukkan bahwa sebelum seseorang mau membangung relasi interpersonal
dengan orang lain, maka seseorang tersebut melakukan penilaian terlebih dahulu.
Penilaian yang dilakukan bertujuan untuk membuat satu keputusan apakah orang
lain tersebut bisa dijadikan teman atau tidak.
B. Faktor-Faktor
Yang Dibutuhkan Dalam Relasi Interpersonal
Di
dalam mencapai relasi interpersonal yang baik, ada beberapa faktor yang
dibutuhkan, Antara lain komunikasi dan kepercayaan.
-
Komunikasi
(Communication)
Komunikasi
adalah peristiwa sosial yang terjadi ketika manusia berinteraksi dengan manusia
yang lain.[22]
Artinya bahwa manusia disebut berinteraksi dengan dunia sekitarnya ketika
manusia tersebut berkomunikasi, jika tidak berkomunikasi maka tidak ada yang
namanya interaksi sosial dengan manusia yang lain. Di dalam komunikasi ada dua
nilai yang selalu ada yaitu informasi (berupa
pesan dalam bentuk lambang-lambang atau berupa gambaran) dan persuasive (proses penerimaan satu
sasaran dan memahaminya).[23]
Ada beberapa tanda komunikasi yang
efektif menurut Stewart L. Tubbs dan Sylvia Moss, antara lain:
1. Pengertian,
artinya penerimaan yang cermat dari sisi stimuli seperti yang dimaksud oleh
komunikator.[24]
Artinya bahwa ketika seorang penerima pesan (komunikasi) dari lawannya dan
penerima pesan tersebut memahaminya atau mengerti arti dari pesan tersebut yang
akhirnya tidak menimbulkan persepsi yang negative.
2.
Kesenangan, artinya bahwa komunikasi
tidak hanya semata-mata menjadi media untuk menyampaikan informasi, namun
komunikasi juga dapat menjadikan suatu relasi dengan orang lain menjadi lebih
hangat, akrab, dan menyenangkan.[25]
3.
Hubungan sosial yang baik, artinya bahwa
komunikasi ditunjukkan untuk menumbuhkan hubungan sosial yang baik. Manusia
adalah makhluk sosial yang tidak tahan hidup sendiri. Ingin berhubungan dengan
orang lain secara positif.[26]
Semakin banyak berkomunikasi dengan orang lain, hubungan sosial akan semakin
lebih baik.
4. Tindakan,
artinya bahwa efektifnya suatu tindakan diukur dari tindakan yang dilakukan
kemudian. Ini merupakan hasil kumulatif seluruh proses komunikasi.[27]
Jadi
jika keempat bagian hal di atas terpenuhi maka komunikasi dalam relasi
interpersonal semakin menjadi lebih baik. Jadi suatu relasi interpersonal
tercipta itu disebabkan karena adanya komunikasi. Bila manusia gagal dalam
berkomunikasi maka ada banyak hal yang akan terjadi dalam dunia sosial manusia
tersebut, salah satunya adalah merasa kesepian karena tidak bisa berelasi
dengan dengan orang lain.
-
Kepercayaan
(Trust)
Trust
is essential to initiate, establish, and maintain social relationships.[28]
Di dalam memulai, mendirikan, dan memelihara relasi yang baik diperlukan yang
namanya kepercayaan. Secara ilmiah, “percaya” didefinisikan sebagai
“mengandalkan perilaku orang untuk mencapai tujuan yang dikehendaki, yang
pencapainnya tidak pasti dan dalam situasi yang penuh resiko.[29]
Situasi yang penuh resiko ini artinya bahwa ketika seseorang menaruh kepercayaan
kepada orang lain maka ia akan menghadapi resiko, baik itu resiko yang buruk
maupun resiko yang baik. Jadi ada akibat-akibat yang terjadi ketika bergantung
kepada kepada orang lain.
Kepercayaan
meningkatkan komunikasi interpersonal karena membuka saluran komunikasi,
memperjelas pengiriman dan penerimaan informasi, serta memperluas peluang
komunikasi untuk mencapai maksudnya.[30]
Artinya bahwa tidak akan terciptanya relasi interpersonal yang baik jika tidak
adanya kepercayaan satu sama lain dalam relasi tersebut. Jika tidak ada
keterbukaan di dalam relasi tersebut, sehingga sulit untuk bisa mengenal satu
dengan yang lain. Namun jika kepercayaan ada maka orang-orang yang menjani relasi
interpersonal akan benar-benar bisa memahami satu dengan yang lain. Oleh karena
itu jika tidak ada percaya maka sangat menghambat relasi interpersonal, karena
tidak ada keakraban di dalamnya.
Di
dalam membangun kepercayaan terhadap relasi interpersonal bukanlah hal yang
mudah untuk dilakukan. Karena tidak semua orang dapat dengan begitu mudahnya
percaya kepada orang lain sehingga masih meragukan orang lain tersebut, apakah
dia baik untuk dijadikan teman atau tidak. Apakah ia bisa dipercaya untuk dijadikan
sebagai teman untuk berbagai atau tidak? Semuanya itu berada dalam
pertimbangan-pertimbangan seseorang sehingga sulit untuk bisa percaya.
Di
dalam suatu relasi orang terkadang tidak bisa trust dengan teman atau pasangannya karena memiliki trust yang rendah atau low trust. At the other
extreme are individuals in low-trust relationships people who have little
confidence that their partner is truly concerned about them and their
relationship. It is not that they necessarily expect their partner to be aggressive
or vindictive. Rather, they simply do not feel secure in believing that their
own needs or desires will significantly modify their partner's decisions or
behaviors.[31]Artinya
bahwa mereka bukan tidak mau percaya kepada orang lain, hanya saja mereka takut
hal itu akan mengubah sikap pasangannya kepadanya. Tidak heran mengapa begitu
banyak orang yang berbohong kepada lingkungan sekitarnya. Kepercayaan seseorang
dalam berelasi juga dapat dipengaruhi oleh pengalaman. Past experiences with a partner play an important role in determining
trust in that partner.[32]
Salah
satu hal terpenting yang perlu diperhatikan dalam membangun kepercayaan adalah
menerima. Menerima adalah sikap yang melihat orang lain sebagai manusia,
sebagai individu yang patut dihargai.[33]
Ketika seseorang menerima maka ia tidak lagi menuntut lebih kepada orang lain,
namun menghargai bahwa orang lain tersebut memiliki kelamahan dan kelebihan,
sehingga apapun keadaannya tidak mempengaruhi relasi satu dengan yang lain.
Sikap menerima keberadaan orang lain membuat seseorang tidak lagi menilai orang
lain secara negative, namun lebih realistis.
IV.
PENGARUH
KEMARAHAN TERHADAP RELASI INTERPERSONAL
Dalam
bagian ini penulis akan menggabungkan dua bagian pembahasan diatas yakni
kemarahan dan relasi interpersonal, sehingga pembaca dapa mengetahui apa yang
menjadi pengaruh kemarahan (kelemahan diri) terhadap relasi interpersonal.
A. Pengaruh
Personal Worth terhadap Kepercayaan dalam Relasi
Interpersonal
Harga
diri yang tinggi memiliki pengaruh yang buruk terhadap kepercayaan dalam relasi
interpersonal. Orang yang harga dirinya positif akan cenderung mempercayai
orang lain, sebaliknya orang yang mempunyai kepribadian otoriter cenderung
sukar mempercayai orang lain.[34] Artinya
bahwa ketika seseorang memiliki harga diri yang tinggi maka saat itu juga orang
tersebut melihat orang lain berbeda dengan dirinya, sehingga adanya
kecurigaan-kecurigaan terhadap orang lain yang akhirnya tidak ada trust/kepercayaan terhadap orang lain.
Dua hal ini merupakan hal yang saling berkaitan. Jika seseorang itu tidak
terlalu menempatkan harga dirinya terlalu tinggi maka orang tersebut dapat
mempercayai orang lain, sehingga tidak akan menaruh curiga kepada orang lain
ketika orang lain tersebut menegur atau mengkritiknya. Tidak lagi merasa bahwa
itu adalah sesuatu yang mengancam.
Hal
ini sebenarnya kembali kepada konsep diri seseorang. Setiap orang memiliki
konsep diri yang berbeda dengan orang lain, sehingga konsep diri inilah yang
memunculkan berbagai perlindungan diri untuk mendukung konsep diri seseorang. Konsep
diri bukan hanya sekedar gambaran deskriptif, tetapi juga penilaian anda
terhadap diri anda.[35]
Artinya bahwa konsep diri berbicara tentang bagaimana seseorang berpikir,
merasakan, melihat dirinya secara pribadi, baik itu secara positif maupun
negatif. Hal ini begitu kompleks, salah satu contohnya adalah konsep harga diri
yang tinggi. Konsep diri ini bisa berasal dari orang lain, pemikiran sendiri,
maupun pengalaman pribadi.
Konsep
harga diri yang tinggi cenderung membuat seseorang itu berpikiran negative
terhadap orang lain. Misalnya ketika ia dikritik maka ia akan marah karena
merasa bahwa orang lain sedang menjatuhkannya, meremehkan dirinya, walaupun
sebenarnya orang lain tidak bermaksud demikian. Tidak lagi percaya bahwa orang
lain tersebut sedang membantu dirinya untuk bisa menjadi lebih baik lagi. Saat
itulah angernya menjadi senjata ampuh
untuk melindungi dirinya, sehingga ketika ia marah ia merasa bahwa ia sedang
menunjukkan siapa dirinya, ia tidak bisa dianggap remeh lagi. Inilah yang
ternyata dialami oleh penulis yaitu karena memiliki harga diri yang terlalu
tinggi sehingga ingin terus menjaganya yang akhirnya membuat penulis tidak
percaya kepada orang lain. Ketika penulis ditegur atau dikritik oleh orang
lain, maka penulis menilai itu bukan sesuatu yang mendatangkan kebaikan bagi
penulis, tapi orang lain tersebut sedang merendahkan penulis.
Jadi
dapat disimpulkan bahwa bahwa anger yang berasal dari konsep harga diri yang
tinggi tidak akan berhasil dalam menjalin relasi interpersonal karena tidak
percaya kepada orang lain. Suatu relasi interpersonal disebut berhasi jika
didalamnya ada rasa saling mempercayai satu dengan yang lainnya.
B.
Pengaruh Frustasi terhadap Komunikasi
dalam Relasi Interpersonal
Kesadaran
diri bisa mempengaruhi perilaku dan sikap terhadap orang lain.[36]
Apa dan bagaimana keadaan seseorang sangat mempengaruhi relasinya dengan orang
lain, salah satunya adalah ketika seseorang itu frustasi. Seperti yang sudah
dijelaskan di bab sebelumnya bahwa frustasi adalah suatu keadaan yang gagal
memperoleh kepuasan, rintangan terhadap aktivitas yang diarahkan untuk mencapai
tujuan tertentu, keadaan emosional yang diakibatkan oleh rasa terkekang, kecewa
dan kekalahan maka sangat mempengaruhi komunikasi. Jadi pemenuhan kebutuhan
seseorang akan mempengaruhi suasana komunikasi yang terjalin antara manusia
dengan sesamanya.[37]
Orang
yang frustasi sulit untuk mengkomunikasikan dengan baik apa yang menjadi
harapannya, sehingga biasanya orang yang frustasi menyampaikan apa yang menjadi
keinginannya melalui kemarahan. Penulis ketika sedang frustasi lebih suka
berdiam diri. Tidak mau diganggu oleh lain. Inilah hal yang membuat orang-orang
disekitar penulis menjadi bingung. Tidak tau apa yang sedang dialami dan apa
yang penulis alami.
V.
KESIMPULAN
Berdasarkan
hasil uraian dalam tulisan ini, penulis menyimpulkan bahwa ada dua factor yang
sangat mempengaruhi anger/kemarahan
yang penulis alami:
-
Personal
worth. Kemarahan yang diluapkan menjadi satu senjata
ampuh bagi penulis karena dengan luapan amarah penulis merasa dapat melindungi
diri bahkan dapat menjaga harga diri. Menjadikan orang lain obyek dari
kemarahan, maka perasaan sakit dan terancam itu berkurang. Inilah yang terkadang penulis lakukan ketika
berada dalam situasi harga diri terancam. Melalui kemarahan penulis ingin
menunjukkan diri yang hebat, harus dihargai.
-
Frustasi.
Ketika mengharapkan sesuatu namun tidak mendapatkannya maka akan terjadi kekecewaan
yang sangat besar sehingga terjadilah frustasi yang diluapkan dengan amarah. Frustasi
itu bermacam-macam dan makin besar derajat frustasi makin besarlah potensi
anger yang timbul.
Ada 2 faktor yang dibutuhkan dalam
menjali relasi interpersonal:
-
Komunikasi (Communication). Komunikasi merupakan hal yang terpenting dalam
berelasi. Tanpa komunikasi tidak akan terjalin relasi interpersonal.
-
Kepercayaan (Trust). Jika kepercayaan ada maka orang-orang yang menjani relasi
interpersonal akan benar-benar bisa memahami satu dengan yang lain. Oleh karena
itu jika tidak ada percaya maka sangat menghambat relasi interpersonal, karena
tidak ada keakraban di dalamnya.
Berdasarkan
uraian anger dan faktor-faktor yang
mempengaruhinya dan uraian relasi interpersonal beserta factor-faktor yang
diperlukan, penulis menyimpulkan bahwa anger/kemarahan
memiliki pengaruh yang sangar besar di dalam menjalin relasi interpersonal. Anger sangat menghambat penulis dalam
menjalin relasi interpersonal. Di saat personal
worth penulis bermasalah maka penulis tidak bisa percaya kepada orang lain
sehingga sulit untuk berelasi satu dengan yang lain dan di saat penulis
mengalami frustasi, maka penulis
tidak bisa berkomunikasi dengan baik kepada orang lain.
Daftar
Pustaka
Buku:
Branden, Nathaniel, ed. Anne Natanael Kekuatan Harga Diri. (Batam:
Interaksara, 2005).
Burnham, Sue, Emosi Dalam Kehidupan (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1994).
Carter, Les, Manfaatkan Amarah Anda Sebelum Ia memanfaatkan Anda (Bandung: Lembaga
Literatur Baptis, 2009).
Carter, Les dan Frank Minirth The Anger Workbook (Nashville: Thomas
Nelson Publishers, 1993).
Huck, Paul A., Overcoming Frustration and Anger (Pennsylvania: The Westiminster
Press, 1974).
Ingram & Johnson, Overcoming Emotion That Destroy (Yogyakarta: Andi, 2011),
Kartono, Kartini & Dali Gulo Kamus Psikologi (Bandung: Pionir Jaya,
1987).
Paton, Patricia, Membangun Hubungan (Jakarta: Delapratasa, 1998).
Rakhmat, Jalaluddin, Psikologi Komunikasi (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1992).
S.M. Siahaan Komunikasi dan Penerapannya (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1991).
Susabda, Yakub B., Pastoral Konseling (Malang: Gandum Mas, 2008).
Tim Penulis Fakultas Psikologi UI, Psikologi Sosial (Jakarta: Salemba,
2012).
Jurnal:
Balliet, Daniel, dan Paul A. M. Van Lange,
“Trust, Conflict, and Cooperation: A Meta-Analysis”,: Psychological Bulletin (2013).
Crossman, Angela M. dkk., “When Frustration
Is Repeated: Behavioral and Emotion Responses During Extinction Over Time”: Emotion (2002).
Luchies, Laura B. dkk., “Trust and Biased
Memory of Transgressions in Romantic Relationships”: Journal of Personality and Social Psychology,(2013).
Rempel, John K. dkk., “Trust and Communicated
Attributions in Close Relationships”,: Journal
of Personality and Social Psychology. (2001).
Savage, Ruth A. dkk., “In Search of the Emotional Face: Anger Versus
Happiness Superiority in Visual Search”: Emotion
(2013).
Whinghter, L. Jean, dkk., “The Moderating
Role of Goal Orientation in the Workload–Frustration Relationship”: Journal of
Occupational Health Psychology (2008).
Visual
Search”: Emotion (2013), 758.
[2] Yakub B. Susabda Pastoral Konseling (Malang: Gandum Mas,
2008), 11.
[3]
Sue Burnham, terj. Lany Kristono Emosi
Dalam Kehidupan (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1994), 92.
[4]
Kartini Kartono & Dali Gulo Kamus
Psikologi (Bandung: Pionir Jaya, 1987), 21.
[5]
Angela M. Crossman, dkk. “When Frustration Is Repeated: Behavioral and Emotion
Responses
During Extinction Over Time”: Emotion (2002), 92,
[6] Ingram & Johnson Overcoming Emotion That Destroy (Yogyakarta:
ANDI, 2011), 34.
[7]
Les Carter., Manfaatkan Amarah Anda
Sebelum Ia memanfaatkan Anda (Bandung: Lembaga Literatur Baptis, 2009), 50.
[10]
Les Carter dan Frank Minirth The Anger
Workbook (Nashville: Thomas Nelson Publishers, 1993), 9.
[11]
Yakub B. Susabda Pastoral Konseling (Malang: Gandum Mas,
2008), 14.
[12]
Kartini, 180.
[13]
Paul A. Huck, Overcoming Frustration and
Anger (Pennsylvania: The Westiminster Press, 1974), 62.
[14]
L. Jean Whinghter, dkk., “The Moderating Role of Goal Orientation in the Workload–Frustration
Relationship”: Journal of Occupational
Health Psychology (2008), 284.
[15]
Susabda., 14.
[16]
Ingram., 128.
[17]
Ingram., 128.
[18]
Ingram., 128.
[19]
Ibid., 136.
[20]
Tim Penulis Fakultas Psikologi UI, Psikologi
Sosial (Jakarta: Salemba, 2012).
[21]
Ibid.,
[22]
Jalaluddin Rakhmat Psikologi Komunikasi (Bandung:
Remaja Rosdakarya, 1992), 9.
[23]
S.M. Siahaan Komunikasi dan Penerapannya (Jakarta:
BPK Gunung Mulia, 1991), 4.
[24]
Rakhmat, 13.
[25]
Rakhmat., 13.
[26]
Rakhmat., 14.
[27]
Rakhmat, 16.
[28]
Daniel Balliet dan Paul A. M.
Van Lange, “Trust, Conflict, and Cooperation: A Meta-Analysis”,: Psychological Bulletin (2013), 1090.
[29]
Rakhmat., 130.
[30]
Rakhmat., 130.
[31]John
K. Rempel, dkk. “Trust and Communicated Attributions in Close Relationships”,: Journal of Personality and Social
Psychology. (2001), 58.
[32]Laura
B. Luchies,dkk. “Trust and Biased Memory of Transgressions in Romantic
Relationships”: Journal of Personality
and Social Psychology,(2013) ,674.
[33]
Rakhmat.,132.
[34]
Rakhmat., 130.
[35]
Rakhmat., 100.
[36]
Patton., 37.
[37]
Siahaan., 47.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar