Total Tayangan Halaman

Kamis, 10 April 2014

PENGARUH KEMARAHAN/ANGER TERHADAP RELASI INTERPERSONAL



I.                   PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Pada umumnya setiap manusia memiliki sifat yang unik di dalam kehidupannya, dan itu adalah kodrat atau sifat yang dibawa sejak lahir. Setiap kepribadian tersebut pasti memiliki dampak terhadap dirinya sendiri maupun diluar dirinya, baik itu kepribadian yang baik/normal maupun kepribadian yang tidak baik/abnormal. Baik itu kelebihan maupun kelemahan pribadi. Baik itu yang disadari kehadirannya maupun yang tidak disadari. Salah satu contohnya adalah kemarahan atau anger. Ini adalah salah satu sifat alamiah yang dimiliki oleh setiap manusia. Anak kecil tidak perlu diajarkan cara untuk marah, karena dengan sendirinyapun mereka telah bisa mengekspresikan kemarahan mereka. Dan masih banyak kelemahan-kelemahan lain yang dimiliki oleh manusia, misalnya anxity, self esteem.
Satu bagian kelemahan yang penulis bahas dalam makalah ini adalah masalah anger/kemarahan. Hal ini beranjak dari kelemahan yang penulis miliki. Penulis juga secara pribadi bergumul terhadap hal ini. Karena penulis sadar bahwa jika hal ini terus menerus dibiarkan maka tidak akan baik dalam segala aspek. Baik itu dalam pelayanan, relasi dengan teman, keluarga, maupun terhadap diri sendiri. Di dalam pengalaman yang penulis alami anger ini cukup memberikan dampak yang tidak baik khususnya dalam berelasai dengan sesama. Kemunculannya terkadang tidak disadari, sehingga ketika ia muncul maka tidak ada kesiapan untuk mengendalikannya.
            Dari uraian latar belakang di atas, maka penulis dalam makalah ini akan membas tentang PENGARUH KEMARAHAN TERHADAP RELASI INTERPERSONAL.
            Tujuannya adalah untuk mengetahui pengaruh kemarahan terhadap relasi interpersonal.

II.                KEMARAHAN
A.    Definisi
Setiap manusia pasti memiliki cara tersendiri untuk mengekspresikan perasaan atau emosi yang sedang dialaminya, baik itu senang, marah, sedih, bingung dan lain sebagainya. Expressions of emotion are one of many important signals available on the human face providing information about others’ intentions and potentially signaling interpersonal threat.[1] Jadi dari ekspresi yang ditunjukkan oleh seseorang dapat memberi satu pengertian bagi orang lain tentang perasaan orang tersebut. Salah satu ekspresi yang ditunjukkan oleh manusia untuk mengungkapkan perasaannya adalah marah/anger. Anger adalah keadaan emosi yang bisa dialami oleh setiap orang pada saat-saat tertentu, yang bisa diekspresikan secara terpendam maupun terbuka terang-terangan, yang bisa berlaku singkat, bisa pula memakan waktu yang panjang dalam bentuk kebencian, dendam dan sebagainya.[2] Anger/ kemarahan dapat juga diartikan sebagai tanggapan fisik dan emosional atas pengalaman atau situasi.[3] Di dalam Kamus Psikologi anger diartikan sebagai reaksi emosional terhadap kekecewaan, terluka, perlakuan campurtangan dan sebagainya yang dicirikan dengan ketidak-senangan dan permusuhan. Kemarahan dapat membangkitkan agresi dan disertai dengan berfungsinya system syaraf otonomis.[4]
Anger bagi sebagian besar orang terkadang memiliki fungsi yang esensial bagi dirinya, artinya mendatangkan keuntungan bagi diri sendiri. Anger during extinction is related to approach motivation.[5] Jadi dapat dikatakan bahwa kemarahan seseorang berkaitan erat dengan motivasi yang ada dibalik kemarahan itu. Tidak sedikit orang yang mencoba mempertahankan anger ini di dalam diriny, sehingga orang tidak mengetahuinya namun ada juga orang-orang tertentu yang dapat menunjukkan kemarahannya dengan berbagai penyebab dan alasan yang dimiliki oleh setiap orang.
Ada beberapa alasan mengapa manusia menggunakan kemarahan bagi keuntungan pribadi:[6]
-    Untuk mengendalikan dan memanipulasi orang lain
-    Untuk memutahkan emosi-emosi negative
-    Untuk meredakan stress
-    Untuk menjaga orang lain tetap berada dalam jarak aman
-    Untuk menghindarkan diri dari tindakan menghadapi masalah kita yang lebih mendalam dan menyakitkan.
-    Untuk mengalihkan perhatian, menjauh dari persoalan sesungguhnya
-    Untuk menyembunyikan luka-luka mendalam
-    Untuk merasa dominan, berkuasa, dan menakutkan
-    Untuk membalas dendam
-    Untuk menghindar dari perhatian orang
-    Untuk mencegah konflik
-    Untuk menghindar dari perubahan
-    Untuk mendahindar dari tindakan menghadapi “yang tidak diketahui”
-    Untuk merasa lebih dari yang lain
Hal ini di atas menunjukkan bahwa ekspresi kemarahan yang ditunjukkan oleh seseorang sering sekali menjadi satu keuntungan tersendiri bagi dirinya sehingga sifat marah tersebut tetap dipertahankan dalam dirinya. Namun sebenarnya apa bila kemarahan ini dibiarkan terus menerus maka seseorang hanya akan menghabiskan waktunya dalam bergumul tentang kemarahannya. Orang yang terus-menerus bergumul dengan masalah amarah tidak memanfaatkan kemampuan yang ada di dalam dirinya untuk menguasai gejolak emosinya.[7] Amarah yang dimiliki terus membuat dirinya semakin tercekam dan tidak membuat ia nyaman dengan dirinya sendiri, karena terganggu dengan kemarahannya.
B.     Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kemarahan
-          Personal Worth
Setiap manusia memiliki persepsi yang berbeda-beda tentang dirinya. Persepsi si A  berbeda dengan persepsi si B, sehingga hal ini mempengaruhi kepribadian seseorang. Persepsi merupakan asumsi tentang kebenaran. Ini penalaran internal yang digunakan untuk mendefinisikan diri sendiri, orang lain, dan juga kejadian-kejadian dalam hidup. Persepsi ini dipengaruhi oleh akumulasi pengalaman-pengalaman, perkembangan masa kecil, dan tanggapan terhadap rangsangan yang diterima setiap hari.[8] Hal ini menunjukkan bahwa pengalaman juga sangat berpengaruh dalam membentuk persepsi seseorang.
Salah satu persepsi diri yang dimiliki oleh seseorang adalah harga diri. Penghargaan diri adalah kebutuhan manusia yang kuat. Itu adalah kebutuhan manusiawi mendasar yang memberikan kontribusi sangat penting terhadap proses kehidupan yang sangat penting bagi perkembangan yang normal dan sehat, penghargaan diri memiliki nilai bertahan hidup.[9] Kekuatan dari harga diri ini membuat manusia melakukan berbagai cara untuk mempertahankannya dengan cara menunjukkan berbagai tindakan. Di dalam buku The Anger Workbook, dikatan bahwa anger is ignited when the person perceives rejection or invalidation. Whether or not that is the message intended by the speaker, the angry person feels that his or her dignity has been demeaned.[10] Jadi ketika seseorang tersebut merasa ditolak maka ia merasa harga dirinya direndahkan sehingga ia menjadi marah. Hal inilah yang sering sekali menjadi pemicu kemarahan dalam diri seseorang. Penulis secara pribadi memiliki penghargaan diri yang terlalu tinggi. Jadi ketika seseorang itu memberi masukan atau kritikan tehadap penulis, maka penulis merasa bahwa orang lain sedang ingin menjatuhkan penulis, tidak menghargai. Pernah juga ketika mantan pacar penulis selingkuh, penulis merasa bahwa harga diri penulis sebagai seorang laki-laki sedang terancam, tidak lagi dihargai maka penulispun meluapkan kemarahan kepada mantan pacar dan juga kepada teman-teman penulis.
Kemarahan yang diluapkan ini menjadi satu senjata ampuh bagi orang yang bersangkutan, karena dengan luapan amarahanya ia merasa dapat melindungi diri bahkan dapat menjaga harga dirinya. Yakub Susabda mengatakan bahwa anger sering sekali menjadi alat untuk melindungi diri bahkan membalas ancaman yang dirasakan oleh seseorang. Karena dengan menjadikan orang lain obyek dari kemarahan, maka perasaan sakit dan terancam itu berkurang.[11] Ini adalah cara terbaik dari perlindungan terhadap harga diri yang tinggi. Inilah yang terkadang penulis lakukan ketika berada dalam situasi harga terancam. Melalui kemarahan penulis ingin menunjukkan diri yang hebat, harus dihargai.
-          Frustasi
Frustasi adalah suatu kegagalan memperoleh kepuasan, rintangan terhadap aktivitas yang diarahkan untuk mencapai tujuan tertentu, keadaan emosional yang diakibatkan oleh rasa terkekang, kecewa dan kekalahan.[12] Paul A. Huck juga mengartikan bahwa a frustration is the condition of wanting something and not getting it, or not wanting something and having it forced on you.[13] Perasaan ini lebih mengarah kepada reaksi terhadap situasi yang tidak diinginkan. Hal serupa disebutkan oleh L. Jean Whinghter. Whinghter mengatakan One such negative affective reaction is frustration, a response that may result for any individual who falls behind while working on tasks.[14] Ketika mengharapkan sesuatu namun tidak mendapatkannya maka akan terjadi kekecewaan yang sangat besar sehingga terjadilah frustasi yang diluapkan dengan amarah. Frustrasi ini lebih mengarah kepada psikologi seseorang. Frustasi itu bermacam-macam, dan makin besar derajat frustasi makin besarlah potensi anger yang timbul.[15]
Frustasi dapat muncul dari berbagai peristiwa, misalnya jalan macet, antrean panjang, kondisi ekonomi, atau karena orang lain.[16] Hal ini sebenarnya adalah hanya pemicu karena begitu besarnya pengharapan yang diberikan terhadap hal tersebut. Misalnya berharap jalan raya tetap lancar, ekonomi keluarga tetap stabil, berharap orang lain bisa memahami, namun ketika apa yang diharapkan itu tidak bisa terwujudkan maka akan membuat seseorang tersebut menjadi frustasi. Jadi, saat tujuan terhalang dan hidup tidak berjalan seperti yang diinginkan, kita frustasi.[17]
Apa sebenarnya hubungan Antara harapan, frustasi, dan kemarahan? Ingram mengutip:
Anda berasumsi bahwa orang-orang tahu dan menerima peraturan-peraturan Anda. Ketika mereka melanggar harapan-harapan Anda, perilaku mereka terlihat seperti pelanggaran yang disengaja terhadap apa yang benar, cerdas, beralasan, atau berakhlak…. Misalnya adalah orang lain tidak melihat kenyataan dengan cara Anda. Pandangan mereka terhadap situasi diwarnai oleh kebutuhan, perasaan, dan sejarah mereka sendiri…. Jadi, masalah pertama dengan harapan adalah orang yang anda marahi jarang sekali setuju dengan Anda.[18]
            Kutipan di atas menjelaskan bahwa pengharapan yang biasa diberikan kepada orang lain terkadang itu adalah sebuah tuntutan yang menuntut orang lain bersikap sesuai yang diinginkan. Lupa bahwa orang lain juga memiliki kepribadian yang tidak sama. Sehingga ketika orang lain tidak memenuhi keinginan yang orang lain inginkan, maka orang lain tersebut menjadi frustasi dan frustasi itu dituangkan atau ditunjukkan melalui kemarahan. Jadi ketika seseorang berharap dan apa yang dialami ternyata terlalu tidak sesuai maka amarah itu meledak.[19] Jalanan yang macet terkadang membuat penulis frustrasi, apalagi ketika sedang ‘berlomba’ dengan waktu. Penulis juga pernah marah ketika yang penulis harapkan tidak terpenuhi. Saat itu adalah masa-masa perayaan natal sebuah sekolah di pedalaman Papua. Penulis menjadi penanggung jawab perayaan natal tersebut. Kemudian penulis memberikan tugas kepada beberapa orang untuk mengerjakan sesuatu, namun ternyata mereka tidak mengerjakannya, mereka malahan asyik bermain volley. Dan itu benar-benar menimbulkan frustrasi yang besar ditambah lagi hari H nya pada saat itu tinggal 2 hari, sehingga penulis benar-benar tidak dapat mengendalikan emosi, dan marah kepada mereka. Memang penulis tidak marah dengan ‘brutal’, namun saya lebih meluapkannya dengan kata-kata yang cukup menyakitkan untuk didengar. Mungkin ini juga adalah salah satu hal yang penulis sesali dalam hidup saya, karena pada saat itu penulis tidak menyadari telah menyakiti hati mereka dengan kata-kata yang penulis ungkapkan. Meskipun tujuan penulis benar namun caranyalah yang salah.
III.             RELASI INTERPERSONAL

A.    Definisi
            Hubungan interpersonal adalah hubungan yang terdiri atas dua orang atau lebih, yang memiliki ketergantungan satu sama lain dan menggunakan pola interaksi yang konsisten.[20] Jadi ketika seseorang memulai suatu interaksi denga orang lain, itu sudah disebut relasi interpersonal. Hubungan interpersonal biasanya dimulai dengan interpersonal attraction. Interpersonal attraction adalah penilaian seseorang terhadap sikap orang lain, dimana penilaian ini dapat diekspresikan melalui satu dimensi, dari strong liking sampai dengan strong dislike.[21] Hal ini menunjukkan bahwa sebelum seseorang mau membangung relasi interpersonal dengan orang lain, maka seseorang tersebut melakukan penilaian terlebih dahulu. Penilaian yang dilakukan bertujuan untuk membuat satu keputusan apakah orang lain tersebut bisa dijadikan teman atau tidak.
B.     Faktor-Faktor Yang Dibutuhkan Dalam Relasi Interpersonal
            Di dalam mencapai relasi interpersonal yang baik, ada beberapa faktor yang dibutuhkan, Antara lain komunikasi dan kepercayaan.
-          Komunikasi (Communication)
            Komunikasi adalah peristiwa sosial yang terjadi ketika manusia berinteraksi dengan manusia yang lain.[22] Artinya bahwa manusia disebut berinteraksi dengan dunia sekitarnya ketika manusia tersebut berkomunikasi, jika tidak berkomunikasi maka tidak ada yang namanya interaksi sosial dengan manusia yang lain. Di dalam komunikasi ada dua nilai yang selalu ada yaitu informasi (berupa pesan dalam bentuk lambang-lambang atau berupa gambaran) dan persuasive (proses penerimaan satu sasaran dan memahaminya).[23]
              Ada beberapa tanda komunikasi yang efektif menurut Stewart L. Tubbs dan Sylvia Moss, antara lain:
1.      Pengertian, artinya penerimaan yang cermat dari sisi stimuli seperti yang dimaksud oleh komunikator.[24] Artinya bahwa ketika seorang penerima pesan (komunikasi) dari lawannya dan penerima pesan tersebut memahaminya atau mengerti arti dari pesan tersebut yang akhirnya tidak menimbulkan persepsi yang negative.
2.      Kesenangan, artinya bahwa komunikasi tidak hanya semata-mata menjadi media untuk menyampaikan informasi, namun komunikasi juga dapat menjadikan suatu relasi dengan orang lain menjadi lebih hangat, akrab, dan menyenangkan.[25]
3.      Hubungan sosial yang baik, artinya bahwa komunikasi ditunjukkan untuk menumbuhkan hubungan sosial yang baik. Manusia adalah makhluk sosial yang tidak tahan hidup sendiri. Ingin berhubungan dengan orang lain secara positif.[26] Semakin banyak berkomunikasi dengan orang lain, hubungan sosial akan semakin lebih baik.
4.      Tindakan, artinya bahwa efektifnya suatu tindakan diukur dari tindakan yang dilakukan kemudian. Ini merupakan hasil kumulatif seluruh proses komunikasi.[27]
Jadi jika keempat bagian hal di atas terpenuhi maka komunikasi dalam relasi interpersonal semakin menjadi lebih baik. Jadi suatu relasi interpersonal tercipta itu disebabkan karena adanya komunikasi. Bila manusia gagal dalam berkomunikasi maka ada banyak hal yang akan terjadi dalam dunia sosial manusia tersebut, salah satunya adalah merasa kesepian karena tidak bisa berelasi dengan dengan orang lain.
 
-          Kepercayaan (Trust)
Trust is essential to initiate, establish, and maintain social relationships.[28] Di dalam memulai, mendirikan, dan memelihara relasi yang baik diperlukan yang namanya kepercayaan. Secara ilmiah, “percaya” didefinisikan sebagai “mengandalkan perilaku orang untuk mencapai tujuan yang dikehendaki, yang pencapainnya tidak pasti dan dalam situasi yang penuh resiko.[29] Situasi yang penuh resiko ini artinya bahwa ketika seseorang menaruh kepercayaan kepada orang lain maka ia akan menghadapi resiko, baik itu resiko yang buruk maupun resiko yang baik. Jadi ada akibat-akibat yang terjadi ketika bergantung kepada kepada orang lain.
Kepercayaan meningkatkan komunikasi interpersonal karena membuka saluran komunikasi, memperjelas pengiriman dan penerimaan informasi, serta memperluas peluang komunikasi untuk mencapai maksudnya.[30] Artinya bahwa tidak akan terciptanya relasi interpersonal yang baik jika tidak adanya kepercayaan satu sama lain dalam relasi tersebut. Jika tidak ada keterbukaan di dalam relasi tersebut, sehingga sulit untuk bisa mengenal satu dengan yang lain. Namun jika kepercayaan ada maka orang-orang yang menjani relasi interpersonal akan benar-benar bisa memahami satu dengan yang lain. Oleh karena itu jika tidak ada percaya maka sangat menghambat relasi interpersonal, karena tidak ada keakraban di dalamnya.
Di dalam membangun kepercayaan terhadap relasi interpersonal bukanlah hal yang mudah untuk dilakukan. Karena tidak semua orang dapat dengan begitu mudahnya percaya kepada orang lain sehingga masih meragukan orang lain tersebut, apakah dia baik untuk dijadikan teman atau tidak. Apakah ia bisa dipercaya untuk dijadikan sebagai teman untuk berbagai atau tidak? Semuanya itu berada dalam pertimbangan-pertimbangan seseorang sehingga sulit untuk bisa percaya.
Di dalam suatu relasi orang terkadang tidak bisa trust dengan teman atau pasangannya karena memiliki trust yang rendah atau low trust. At the other extreme are individuals in low-trust relationships people who have little confidence that their partner is truly concerned about them and their relationship. It is not that they necessarily expect their partner to be aggressive or vindictive. Rather, they simply do not feel secure in believing that their own needs or desires will significantly modify their partner's decisions or behaviors.[31]Artinya bahwa mereka bukan tidak mau percaya kepada orang lain, hanya saja mereka takut hal itu akan mengubah sikap pasangannya kepadanya. Tidak heran mengapa begitu banyak orang yang berbohong kepada lingkungan sekitarnya. Kepercayaan seseorang dalam berelasi juga dapat dipengaruhi oleh pengalaman. Past experiences with a partner play an important role in determining trust in that partner.[32]
Salah satu hal terpenting yang perlu diperhatikan dalam membangun kepercayaan adalah menerima. Menerima adalah sikap yang melihat orang lain sebagai manusia, sebagai individu yang patut dihargai.[33] Ketika seseorang menerima maka ia tidak lagi menuntut lebih kepada orang lain, namun menghargai bahwa orang lain tersebut memiliki kelamahan dan kelebihan, sehingga apapun keadaannya tidak mempengaruhi relasi satu dengan yang lain. Sikap menerima keberadaan orang lain membuat seseorang tidak lagi menilai orang lain secara negative, namun lebih realistis.
 IV.             PENGARUH KEMARAHAN TERHADAP RELASI INTERPERSONAL
Dalam bagian ini penulis akan menggabungkan dua bagian pembahasan diatas yakni kemarahan dan relasi interpersonal, sehingga pembaca dapa mengetahui apa yang menjadi pengaruh kemarahan (kelemahan diri) terhadap relasi interpersonal.
A.    Pengaruh Personal Worth terhadap Kepercayaan dalam  Relasi Interpersonal
Harga diri yang tinggi memiliki pengaruh yang buruk terhadap kepercayaan dalam relasi interpersonal. Orang yang harga dirinya positif akan cenderung mempercayai orang lain, sebaliknya orang yang mempunyai kepribadian otoriter cenderung sukar mempercayai orang lain.[34] Artinya bahwa ketika seseorang memiliki harga diri yang tinggi maka saat itu juga orang tersebut melihat orang lain berbeda dengan dirinya, sehingga adanya kecurigaan-kecurigaan terhadap orang lain yang akhirnya tidak ada trust/kepercayaan terhadap orang lain. Dua hal ini merupakan hal yang saling berkaitan. Jika seseorang itu tidak terlalu menempatkan harga dirinya terlalu tinggi maka orang tersebut dapat mempercayai orang lain, sehingga tidak akan menaruh curiga kepada orang lain ketika orang lain tersebut menegur atau mengkritiknya. Tidak lagi merasa bahwa itu adalah sesuatu yang mengancam.
Hal ini sebenarnya kembali kepada konsep diri seseorang. Setiap orang memiliki konsep diri yang berbeda dengan orang lain, sehingga konsep diri inilah yang memunculkan berbagai perlindungan diri untuk mendukung konsep diri seseorang. Konsep diri bukan hanya sekedar gambaran deskriptif, tetapi juga penilaian anda terhadap diri anda.[35] Artinya bahwa konsep diri berbicara tentang bagaimana seseorang berpikir, merasakan, melihat dirinya secara pribadi, baik itu secara positif maupun negatif. Hal ini begitu kompleks, salah satu contohnya adalah konsep harga diri yang tinggi. Konsep diri ini bisa berasal dari orang lain, pemikiran sendiri, maupun pengalaman pribadi.
Konsep harga diri yang tinggi cenderung membuat seseorang itu berpikiran negative terhadap orang lain. Misalnya ketika ia dikritik maka ia akan marah karena merasa bahwa orang lain sedang menjatuhkannya, meremehkan dirinya, walaupun sebenarnya orang lain tidak bermaksud demikian. Tidak lagi percaya bahwa orang lain tersebut sedang membantu dirinya untuk bisa menjadi lebih baik lagi. Saat itulah angernya menjadi senjata ampuh untuk melindungi dirinya, sehingga ketika ia marah ia merasa bahwa ia sedang menunjukkan siapa dirinya, ia tidak bisa dianggap remeh lagi. Inilah yang ternyata dialami oleh penulis yaitu karena memiliki harga diri yang terlalu tinggi sehingga ingin terus menjaganya yang akhirnya membuat penulis tidak percaya kepada orang lain. Ketika penulis ditegur atau dikritik oleh orang lain, maka penulis menilai itu bukan sesuatu yang mendatangkan kebaikan bagi penulis, tapi orang lain tersebut sedang merendahkan penulis.
Jadi dapat disimpulkan bahwa bahwa anger yang berasal dari konsep harga diri yang tinggi tidak akan berhasil dalam menjalin relasi interpersonal karena tidak percaya kepada orang lain. Suatu relasi interpersonal disebut berhasi jika didalamnya ada rasa saling mempercayai satu dengan yang lainnya.
B.     Pengaruh Frustasi terhadap Komunikasi dalam Relasi Interpersonal
            Kesadaran diri bisa mempengaruhi perilaku dan sikap terhadap orang lain.[36] Apa dan bagaimana keadaan seseorang sangat mempengaruhi relasinya dengan orang lain, salah satunya adalah ketika seseorang itu frustasi. Seperti yang sudah dijelaskan di bab sebelumnya bahwa frustasi adalah suatu keadaan yang gagal memperoleh kepuasan, rintangan terhadap aktivitas yang diarahkan untuk mencapai tujuan tertentu, keadaan emosional yang diakibatkan oleh rasa terkekang, kecewa dan kekalahan maka sangat mempengaruhi komunikasi. Jadi pemenuhan kebutuhan seseorang akan mempengaruhi suasana komunikasi yang terjalin antara manusia dengan sesamanya.[37]
Orang yang frustasi sulit untuk mengkomunikasikan dengan baik apa yang menjadi harapannya, sehingga biasanya orang yang frustasi menyampaikan apa yang menjadi keinginannya melalui kemarahan. Penulis ketika sedang frustasi lebih suka berdiam diri. Tidak mau diganggu oleh lain. Inilah hal yang membuat orang-orang disekitar penulis menjadi bingung. Tidak tau apa yang sedang dialami dan apa yang penulis alami.
V.                KESIMPULAN
Berdasarkan hasil uraian dalam tulisan ini, penulis menyimpulkan bahwa ada dua factor yang sangat mempengaruhi anger/kemarahan yang penulis alami:
-       Personal worth. Kemarahan yang diluapkan menjadi satu senjata ampuh bagi penulis karena dengan luapan amarah penulis merasa dapat melindungi diri bahkan dapat menjaga harga diri. Menjadikan orang lain obyek dari kemarahan, maka perasaan sakit dan terancam itu berkurang.  Inilah yang terkadang penulis lakukan ketika berada dalam situasi harga diri terancam. Melalui kemarahan penulis ingin menunjukkan diri yang hebat, harus dihargai.
-       Frustasi. Ketika mengharapkan sesuatu namun tidak mendapatkannya maka akan terjadi kekecewaan yang sangat besar sehingga terjadilah frustasi yang diluapkan dengan amarah. Frustasi itu bermacam-macam dan makin besar derajat frustasi makin besarlah potensi anger yang timbul.
            Ada 2 faktor yang dibutuhkan dalam menjali relasi interpersonal:
-          Komunikasi (Communication). Komunikasi merupakan hal yang terpenting dalam berelasi. Tanpa komunikasi tidak akan terjalin relasi interpersonal.
-          Kepercayaan (Trust). Jika kepercayaan ada maka orang-orang yang menjani relasi interpersonal akan benar-benar bisa memahami satu dengan yang lain. Oleh karena itu jika tidak ada percaya maka sangat menghambat relasi interpersonal, karena tidak ada keakraban di dalamnya.
Berdasarkan uraian anger dan faktor-faktor yang mempengaruhinya dan uraian relasi interpersonal beserta factor-faktor yang diperlukan, penulis menyimpulkan bahwa anger/kemarahan memiliki pengaruh yang sangar besar di dalam menjalin relasi interpersonal. Anger sangat menghambat penulis dalam menjalin relasi interpersonal. Di saat personal worth penulis bermasalah maka penulis tidak bisa percaya kepada orang lain sehingga sulit untuk berelasi satu dengan yang lain dan di saat penulis mengalami frustasi, maka penulis tidak bisa berkomunikasi dengan baik kepada orang lain.

Daftar Pustaka
Buku:
Branden, Nathaniel, ed. Anne Natanael Kekuatan Harga Diri. (Batam: Interaksara, 2005).
Burnham, Sue, Emosi Dalam Kehidupan (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1994).
Carter, Les, Manfaatkan Amarah Anda Sebelum Ia memanfaatkan Anda (Bandung: Lembaga Literatur Baptis, 2009).
Carter, Les dan Frank Minirth The Anger Workbook (Nashville: Thomas Nelson Publishers, 1993).
Huck, Paul A., Overcoming Frustration and Anger (Pennsylvania: The Westiminster Press, 1974).
Ingram & Johnson, Overcoming Emotion That Destroy (Yogyakarta: Andi, 2011),
Kartono, Kartini & Dali Gulo Kamus Psikologi (Bandung: Pionir Jaya, 1987).
Paton, Patricia, Membangun Hubungan (Jakarta: Delapratasa, 1998).
Rakhmat, Jalaluddin, Psikologi Komunikasi (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1992).
S.M. Siahaan Komunikasi dan Penerapannya (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1991).
Susabda, Yakub B., Pastoral Konseling (Malang: Gandum Mas, 2008).
Tim Penulis Fakultas Psikologi UI, Psikologi Sosial (Jakarta: Salemba, 2012).

Jurnal:
Balliet, Daniel, dan Paul A. M. Van Lange, “Trust, Conflict, and Cooperation: A Meta-Analysis”,: Psychological Bulletin (2013).
Crossman, Angela M. dkk., “When Frustration Is Repeated: Behavioral and Emotion Responses During Extinction Over Time”: Emotion (2002).
Luchies, Laura B. dkk., “Trust and Biased Memory of Transgressions in Romantic Relationships”: Journal of Personality and Social Psychology,(2013).
Rempel, John K. dkk., “Trust and Communicated Attributions in Close Relationships”,: Journal of Personality and Social Psychology. (2001).
Savage, Ruth A. dkk., “In Search of the Emotional Face: Anger Versus Happiness Superiority in Visual Search”: Emotion (2013).
Whinghter, L. Jean, dkk., “The Moderating Role of Goal Orientation in the Workload–Frustration Relationship”: Journal of Occupational Health Psychology (2008). 


[1] Ruth A. Savage, dkk., “In Search of the Emotional Face: Anger Versus Happiness Superiority in
Visual Search”: Emotion (2013), 758.
[2] Yakub B. Susabda Pastoral Konseling (Malang: Gandum Mas, 2008), 11.
[3] Sue Burnham, terj. Lany Kristono Emosi Dalam Kehidupan (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1994), 92.
[4] Kartini Kartono & Dali Gulo Kamus Psikologi (Bandung: Pionir Jaya, 1987), 21.
[5] Angela M. Crossman, dkk. “When Frustration Is Repeated: Behavioral and Emotion Responses
During Extinction Over Time”: Emotion (2002), 92,
[6] Ingram & Johnson Overcoming Emotion That Destroy (Yogyakarta: ANDI, 2011), 34.
[7] Les Carter., Manfaatkan Amarah Anda Sebelum Ia memanfaatkan Anda (Bandung: Lembaga Literatur Baptis, 2009), 50.
 [8]  Patricia Paton, Membangun Hubungan (Jakarta: Delapratasa, 1998), 46.
 [9]  Nathaniel Branden, ed. Anne Natanael Kekuatan Harga Diri. (Batam: Interaksara, 2005), 43.
[10] Les Carter dan Frank Minirth The Anger Workbook (Nashville: Thomas Nelson Publishers, 1993), 9.
[11] Yakub B. Susabda Pastoral Konseling (Malang: Gandum Mas, 2008), 14.
[12] Kartini, 180.
[13] Paul A. Huck, Overcoming Frustration and Anger (Pennsylvania: The Westiminster Press, 1974), 62.
[14] L. Jean Whinghter, dkk., “The Moderating Role of Goal Orientation in the Workload–Frustration Relationship”: Journal of Occupational Health Psychology (2008), 284.
[15] Susabda., 14.
[16] Ingram., 128.
[17] Ingram., 128.
[18] Ingram., 128.
[19] Ibid., 136.
[20] Tim Penulis Fakultas Psikologi UI, Psikologi Sosial (Jakarta: Salemba, 2012).
[21] Ibid.,
[22] Jalaluddin Rakhmat Psikologi Komunikasi (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1992), 9.
[23] S.M. Siahaan Komunikasi dan Penerapannya (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1991), 4.
[24] Rakhmat, 13.
[25] Rakhmat., 13.
[26] Rakhmat., 14.
[27] Rakhmat, 16.
[28] Daniel Balliet dan Paul A. M. Van Lange, “Trust, Conflict, and Cooperation: A Meta-Analysis”,: Psychological Bulletin (2013), 1090.
[29] Rakhmat., 130.
[30] Rakhmat., 130.
[31]John K. Rempel, dkk. “Trust and Communicated Attributions in Close Relationships”,: Journal of Personality and Social Psychology. (2001), 58.
[32]Laura B. Luchies,dkk. “Trust and Biased Memory of Transgressions in Romantic Relationships”: Journal of Personality and Social Psychology,(2013) ,674.
[33] Rakhmat.,132.
[34] Rakhmat., 130.
[35] Rakhmat., 100.
[36] Patton., 37.
[37] Siahaan., 47.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar